Archive for 02/11/13

4 GOLONGAN AHLI WARIS

Senin, 11 Februari 2013 · Posted in ,


Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1.    Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2.    Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.
 
Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
1.    Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
2.    Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3.    Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
4.    Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
 
Mengapa ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan ini?
 
Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.

Dalam kasus Anda, saya mengambil kesimpulan bahwa walaupun kakak Anda tidak memiliki anak, namun masih memiliki seorang isteri. Dengan demikian, sebagai ahli waris Golongan I, maka isteri kakak Anda tersebut berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari mendiang kakak Anda.
 
Untuk penjelasan lengkapnya bisa di baca di link ini Siapakah yang Berhak Mewaris?
 
Catatan: Jawaban pertanyaan tersebut ada pula penjelasannya di buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS

MENIKAH TANPA RESTU ORANG TUA

· Posted in ,

Saya cewek usia 24 tahun. Tahun 2009 saya kabur dari rumah tanpa paksaan dari siapapun karena orang tua melarang saya menikah dengan pacar (kami pacaran dari 2005), padahal pacar sudah melamar saya di depan orang tua saya secara baik-baik tapi orang tua saya menolak. Selama 2 tahun ini saya masih belum bisa menikah karena saat saya mengurus surat-surat pengantar ke kantor kepala desa/kelurahan selalu dipersulit. Orang tua saya adalah orang terpandang di desa, sehingga pihak-pihak kelurahan tidak berani memberikan surat apapun yang saya minta. Bahkan orang tua memberikan surat pernyataan bahwa saya dicoret dari kartu keluarga dan harus mengembalikan biaya sekolah dari SD sampai perguruan tinggi sebesar Rp500 juta. Menurut hukum, apa yang harus saya lakukan agar saya bisa menikah? Sampai kapanpun dan alasan apapun orang tua tidak mungkin merestui dan akan selalu menghalangi
 
 
 
 
Sebelumnya, kami bersimpati atas masalah yang Anda hadapi.
 
Pertama, perlu diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, di dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Kedua, perlu juga diketahui bahwa syarat-syarat perkawinan antara lain adalah:
1.      Harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
2.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua/salah satu, bila ternyata orang tua ada yang sudah meninggal atau wali bila ternyata kedua orang tua sudah tidak ada.
(lihat Pasal 6 ayat [1] dan ayat [2] UU Perkawinan)
 
Ketiga, pihak kelurahan tidak dibenarkan mempersulit Anda memperoleh surat keterangan untuk melakukan perkawinan. Sikap pihak kelurahan itu melanggar asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU 25/2009”), khususnya asas kepastian hukum, kesamaan hak, keprofesionalan, dan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif (lihat Pasal 17 jo Pasal 4). Sayangnya, sanksi atas pelanggaran tersebut hanya berupa teguran tertulis (lihat Pasal 17 jo Pasal 54 ayat [1] UU 25/2009).
 
Dengan demikian, mengacu pada hal-hal yang dijelaskan di atas, kami berpendapat bahwa;
-         Karena usia Anda telah mencapai 24 tahun, maka Anda tidak wajib untuk mendapat izin orang tua untuk menikah.
-         Meski tidak lagi memerlukan persetujuan orangtua, Anda tetap perlu memperoleh surat pengantar dari pihak kelurahan di wilayah tempat tinggal Anda. Surat pengantar dari kelurahan ini diperlukan sebagai syarat kelengkapan administrasi pencatatan perkawinan baik di Kantor Urusan Agama (“KUA”) atau Kantor Catatan Sipil (“KCS”). Hal ini diatur antara lain dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan jo Pasal 6 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-         Kami lebih menyarankan agar Anda dan calon suami Anda menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan orangtua Anda. Dalam proses ini ada baiknya Anda mengundang pihak-pihak yang dihormati oleh orangtua Anda, seperti tokoh agama misalnya.
-         Selain itu, Anda dan calon suami juga bisa berkonsultasi dengan pihak KUA atau KCS setempat mengenai masalah yang Anda hadapi. Mudah-mudahan mereka dapat memberikan jalan keluar terbaik agar niat baik Anda berdua untuk menikah tidak terhalang hanya karena hal-hal yang sifatnya administratif.
Saya cewek usia 24 tahun. Tahun 2009 saya kabur dari rumah tanpa paksaan dari siapapun karena orang tua melarang saya menikah dengan pacar (kami pacaran dari 2005), padahal pacar sudah melamar saya di depan orang tua saya secara baik-baik tapi orang tua saya menolak. Selama 2 tahun ini saya masih belum bisa menikah karena saat saya mengurus surat-surat pengantar ke kantor kepala desa/kelurahan selalu dipersulit. Orang tua saya adalah orang terpandang di desa, sehingga pihak-pihak kelurahan tidak berani memberikan surat apapun yang saya minta. Bahkan orang tua memberikan surat pernyataan bahwa saya dicoret dari kartu keluarga dan harus mengembalikan biaya sekolah dari SD sampai perguruan tinggi sebesar Rp500 juta. Menurut hukum, apa yang harus saya lakukan agar saya bisa menikah? Sampai kapanpun dan alasan apapun orang tua tidak mungkin merestui dan akan selalu menghalangi.



SUAMI 8 TAHUN TIDAK MEMBERI NAFKAH

· Posted in ,

Pertanyaan: 1. Bagaimanakah pandangan hukum negara bila suami tidak memberikan nafkah selama 8 tahun dalam 12 tahun usia pernikahan? Apakah saya berhak menggugat cerai? 2. Bagaimana tentang hak asuh anak? 3. Apakah rumah tersebut termasuk harta gono gini? Apakah saya berhak menjualnya sebelum menggugat cerai?


Terhadap pertanyaan tentang permasalahan rumah tangga di atas, maka dapat saya jawab sebagai berikut :
 
1.    Tentang kewajiban memberikan nafkah, maka terdapat beberapa aturan yang mengatur sebagai berikut :
 
-      Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan,
 
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”;
 
 
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”;
 
Berdasarkan ketentuan di atas, maka jelas seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Bahkan, lebih lanjut diatur bahwa setiap orang (tidak hanya suami) tidak boleh menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya.
 
Terhadap pertanyaan apakah dapat diajukan gugatan perceraian terhadap suami dengan kasus seperti disebutkan di atas, secara hukum maka hal tersebut dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan yang menyatakan,
 
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.”;
 
Namun, seyogyanya Ibu mempertimbangkan masalah ini dengan mendalam, mengingat sebagai seorang Kristen, maka perceraian sama sekali tidak dibenarkan;
 
2.    Perihal hak asuh anak, maka berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan dinyatakan,
 
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.”
 
Berdasarkan ketentuan di atas, maka jelaslah bahwa orang tua bertanggung jawab terus terhadap anak dari perkawinan mereka sekalipun perkawinan tersebut telah putus. Perihal siapa yang berhak mengasuh, maka berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1968 dalam perkara: Tjiioe Tiang Hin melawan Kwee Poey Tjoe Nio, dinyatakan,
 
Dalam hal terjadi perceraian, anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibu, perwaliannya patut diserahkan kepada ibunya.”
 
3.    Perihal rumah yang dibelikan oleh orang tua Ibu setelah Ibu menikah, maka rumah tersebut secara hukum merupakan hadiah dari orang tua, oleh karenanya adalah merupakan milik Ibu dan bukan termasuk dalam Harta Bersama (gono-gini). Oleh karenanya, apabila Ibu hendak mengalihkan kepemilikannya/menjual rumah tersebut, maka Ibu dapat menjualnya kapanpun;
 
Hal ini sebagaimana diatur dalam: Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan,
 
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” ;
 
Dan Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan,
 
Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.”
 

PERJANJIAN PISAH HARTA SETELAH PERKAWINAN

· Posted in ,

saya ingin menanyakan hal mengenai pembuatan perjanjian pemisahan harta kekayaan yang didapatkan dalam perkawinan. Akan tetapi di sini kondisinya suami-istri tersebut dalam keadaan pisah ranjang. Lalu apakah dapat dilakukan perjanjian pemisahaan harta tersebut? Mengingat UU Perkawinan tidak mengenal adanya pisah ranjang seperti yang ada di dalam KUHPerdata. Demikian pertanyaan yang saya ajukan, sekiranya mohon diberikan pencerahan. Terima kasih :)

Sesuai ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dinyatakan bahwa:
1.      Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.      Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

dalam praktiknya, sebagaimana kami kutip dari artikel Perkawinan Campuran (2), menurut advokat Anita D.A. Kolopaking, perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi:
1.     Harta bawaan ke dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.     Semua hutang yang dibawa oleh suami atau isteri dalam perkawinan mereka yang dibuat oleh mereka selma perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau isteri.
3.     Isteri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun pekerjaannya atau sumber lain
4.     Untuk mengurus hartanya itu isteri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.
5.     dan lain sebagainya.

Perjanjian Perkawinan atau disebut juga perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement) dalam KUHPer maupun UUP adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selain tampak dalam terminologinya yang menggunakan “pra” atau “pre”, berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUP, perjanjian itu harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah selama berlangsungnya perkawinan. Selain itu, menurut Pasal 73 Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, perjanjian perkawinan juga harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.

Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung dan ia mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Lebih jauh, simak artikel Prenuptial Agreement.

Sehingga, jika tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah menjadi harta bersama suami istri (lihat Pasal 35 ayat [1] UUP) dan akan menjadi harta gono gini dalam hal pasangan suami istri tersebut bercerai. Lebih jauh, simak artikel Pembagian Harta Gono Gini.

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, meskipun pasangan suami istri telah pisah ranjang, tidak dapat dibuat perjanjian perkawinan untuk mengatur pemisahan harta karena perjanjian perkawinan/prenuptial agreement hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.

PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PISAH HARTA

· Posted in ,



1. Pada dasarnya, perjanjian perkawinan secara tertulis diletakkan dalam suatu akta notaris dan diadakan sebelum pernikahan berlangsung (Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, kedua belah pihak diberikan hak seluas-luasnya selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan (Pasal 29 ayat [2] UU Perkawinan).
 
Dalam hal Anda memperjanjikan bahwa rumah yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bersama, hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan karena pada dasarnya kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk membuat isi dan bentuk perjanjian perkawinan.
 
2. Mengenai pembuatan perjanjian harta terpisah, karena Anda mengatakan bahwa “akan mencatatkan perkawinan kami di kantor catatan sipil”, kami berasumsi bahwa Anda telah menikah secara agama, tetapi belum mencatatkannya di kantor catatan sipil. Dalam hal Anda belum mencatatkan perkawinan Anda di kantor catatan sipil, maka secara hukum negara, perkawinan Anda belum diakui.
 
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan agar berlaku bagi pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, perjanjian tersebut tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung. Ini berarti, selama Anda belum mencatatkan perkawinan Anda di kantor catatan sipil, yang berarti perkawinan Anda belum diakui secara hukum negara, Anda dapat membuat perjanjian perkawinan pisah harta atas harta yang didapat setelah perkawinan.
 
Pasal 29 UU Perkawinan
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
 

MENEBAK KATA DALAM BUKU

· Posted in

Bahan:
Buku note atau buku telepon, atau buku apapun yang jumlah halamannya minimal 900.

Persiapan:
Catat baris ke 18 pada halaman 99,198,297,396,495,594,693,792,891 di buku notes mu.
dalam ha ini saya cotohkan pake buku telepon, jadi kamu catat nama, alamat, dan telepon pada halaman dan baris diatas!

Metode:
1. Kamu minta salah satu penonton untuk memilih angka ratusan apapun itu.
2. Lalu angkanya dibalik, sehingga penonton sekarang punya 2 angka ratusan!
3. Lalu kurangi angka yang terbesar dengan yang terkecil!

Contoh:
Penonton memilih angka 354,lalu dibalik menjadi 453,dan dikurangi,hasilnya 99.
4. Maka penonton membuka halaman ke 99.
5. Lalu jumlahkan angka yag dia peroleh tadi (99) menjadi 9+9=18, dan lihat baris pada urutan ke 18!
6. Kalo sudah,catat di kertas!
7. Nah… Sekarang keajaiban dimulai, Kamu yakinkan kalo pilihan yang penonton jatuhkan itu bebas dan kamu akan menebaknya!
8. Pada saat penonton membuka buku, kamu lihat,dia bukanya di awal,tengah atau akhir, trus kamu tebak deh. Misal dia buka di awal-awal, maka kamu tebak sesuai denagn yang ada di catatanmu! biar penonton gak curiga, kamu gunain buku notemu untuk menulis pikiran pikiran yang kamu tangkap dari penonton, padahal gunanya untuk nyontek catatan yang udah kamu buat.
9. Kalo di catatanmu namnya suhartono mislnya, kamu bilang “saya melihat adda huruf s, apa benar nama yang ada di buku anda berawal dari huruf s”? kalo benar kamu terusin sesuai dengan catatanmu! Tapi kalo salah, Kamu tanya aja ma penonton, “Kalo gitu,apa huruf awalnya?”. Misal dia jawab huruf d, Kamu lihat aja di catatanmu ama yang ada huruf “d”. Dan terusin aja baca pikiranya!

catetan jangan sampe’ keliatan penonton!

PERPUSTAKAANKU. Diberdayakan oleh Blogger.