Archive for 01/22/13

KARMA MENURUT AJARAN KRISTEN

Selasa, 22 Januari 2013 · Posted in


Hukum karma dipahami sebagai suatu akibat menyeluruh dari seluruh dan perbuatan seseorang yang dilakukan selama hidupnya, yang mana hasil dari perbuatannya tersebut akan menentukan nasib dirinya khususnya dalam inkarnasi pada kehidupan seseorang di masa mendatang. Mungkin itu sebabnya selaku orang Kristen jarang mengulas hukum “tabur-tuai” karena dengan tegas iman Kristen menyatakan bahwa tidak ada inkarnasi pada masa mendatang setelah seseorang meninggal. Dalam konteks ini iman Kristen memang tidak sejalan dengan ajaran agama Hindu atau Budha soal kehidupan di masa mendatang. Sebab dalam iman Kristen setelah kematian, seseorang tidak mengalami inkarnasi (kelahiran kembali) lagi, tetapi dia harus mempertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Allah atas apa yang telah dia lakukan dan imani sepanjang dia hidup. Sebaliknya agama Hindu atau Budha umumnya berpikir secara siklis, yang mana kehidupan seseorang di masa kini menentukan kualitas inkarnasinya di masa mendatang. Tetapi bagaimana sikap iman Kristen dan sikap agama Hindu atau agama-agama lain dengan hukum “apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai”? Sesungguhnya hukum “tabur-tuai” merupakan hukum yang telah dikenal secara umum dan alamiah dalam kehidupan ini. Lima puluh tahun sebelum Kristus lahir, seorang filsuf bangsa Romawi yaitu Marcus T. Cicero, berkata, “As you have sown so shall you reap” (sebagaimana kamu telah menabur, demikian pula kamu akan menuainya). Alam juga mengajarkan hal yang sama. Kita hanya menuai buah mangga ketika kita menabur benih atau biji buah mangga, dan tidak mungkin kita menuai buah yang lain.


Hukum Tabur-Tuai Di Alkitab
Manakala kita memperhatikan dengan cermat beberapa bagian dari ayat-ayat Alkitab, kita juga menjumpai ide yang hampir senada. Di II Kor. 9:6 rasul Paulus berkata: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga”. Dalam hal ini rasul Paulus menempatkan hukum “tabur-tuai” dalam konteks bagaimana jemaat Makedonia yang tetap menunjukkan kemurahan hati dan kasih mereka walaupun mereka saat itu sedang menghadapi kekurangan dan kemiskinan. Atas dasar itu rasul Paulus mengharapkan pula kemurahan hati jemaat di Korintus untuk ambil bagian secara tulus dalam pekerjaan Tuhan. Juga di Gal. 6:7 rasul Paulus berkata: “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu”. Di surat Galatia ini, rasul Paulus dengan tegas menyatakan bahwa Allah akan menghukum setiap orang menurut tindakan atau perbuatannya. Apabila orang tersebut menabur dalam hidup ini berbagai hawa-nafsu dan keinginan duniawi, maka dia juga akan menuai kebinasaan; sebaliknya apabila seseorang menabur dalam keinginan Roh, maka dia akan menuai hidup yang kekal. Dari ayat-ayat Alkitab tersebut sangat jelas bahwa hukum “tabur-tuai” bukanlah konsep Hinduisme atau suatu agama tertentu. Tetapi konsep hukum “tabur-tuai” sebenarnya juga telah diberlakukan dalam Alkitab sejak awal. Bahkan Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang cemburu, sehingga Dia akan menghukum setiap orang yang beribadah atau menyembah kepada illah lain. Perhatikan Kel. 20:5-6, Allah berfirman: “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku”. Yahweh yang penuh anugerah dan kasih itu juga Allah yang dapat membalas kesalahan dan dosa kepada umatNya dengan hukuman yang begitu berat apabila mereka menyimpang dari kehendakNya.

Kecenderungan umat Kristen adalah terlalu sering hanya menekankan segi kerahiman Allah, yaitu kasih-karunia dan anugerah pengampunanNya, sehingga kita kurang memberikan tempat yang proporsional kepada pembalasan atau hukuman Allah yang lahir dari keadilanNya. Itu sebabnya kita hanya mengedepankan anugerah Allah yang begitu agung sehingga Dia bersedia membenarkan umat yang berdosa karena iman kepada Kristus. Tetapi pada sisi lain kita masih kurang memperhatikan segi tanggungjawab manusia dalam menyikapi anugerah pengampunan yang dikaruniakan di dalam iman kepada Kristus. Karena kita terlalu menekankan anugerah Allah yang begitu agung dengan mengabaikan keadilan dan kekudusanNya, maka tidak mengherankan jikalau banyak orang Kristen kemudian menempatkan makna anugerah Allah tersebut menjadi anugerah yang murah (the cheap grace). Akibatnya mereka kurang menunjukkan sikap tanggungjawab yang optimal dan serius terhadap anugerah Allah yang telah berkenan membenarkan mereka dalam iman kepada Kristus. Fenomena ini menunjukkan telah terjadi suatu kesalahpahaman yang sangat besar terhadap makna anugerah pengampunan Allah di dalam Kristus. Anugerah Allah justru dipertentangkan dengan tanggungjawab perbuatan manusia. Padahal seharusnya makna anugerah Allah menjadi nyata dan efektif ketika diwujudkan tanggungjawab perbuatan; dan pada pihak lain tanggungawab perbuatan menjadi berarti dan benar di hadapan Allah ketika didasari oleh kuasa anugerah Allah yang menyelamatkan. Sehingga sangatlah tepat ketika rasul Yakobus berkata: “Sebab sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak. 2:26).

Hukum Tabur-Tuai Sebagai Sikap Etis Tanggungjawab Manusia
Hukum “tabur-tuai” menjadi tidak Alkitabiah atau bertentangan dengan iman Kristen ketika hukum “tabur-tuai” dihayati sebagai jalan keselamatan untuk memperoleh hidup yang kekal. Dengan pemahaman tersebut orang-orang akan berlomba-lomba untuk menabur berbagai perbuatan baik, kebajikan, amal, ibadah dan berbagai hal yang mulia dengan tujuan untuk memperoleh pahala atau dapat menuai keselamatan dari Allah. Makna perbuatan baik (menabur hal-hal yang baik) pada akhirnya hanya dijadikan oleh manusia sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan (menuai hal-hal yang baik) bagi kepentingan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang melakukan perbuatan baik atau menabur yang baik karena dia takut menerima atau menuai karma yang buruk. Itu sebabnya mereka mencoba dan berjuang untuk mengumpulkan berbagai perbuatan baik sebagai pahala agar mereka dapat berkenan di hadapan Allah. Namun satu hal yang sangat prinsip sering dilupakan oleh manusia, yaitu bahwa hakikat dan kodrat manusia telah jatuh di bawah kuasa dosa. Sehingga manusia di hadapan Allah pada hakikatnya tidak mampu berbuat benar, walaupun mungkin dia mampu berbuat baik atau melakukan banyak amal di hadapan sesamanya. Dengan perkataan lain, dalam iman Kristen sebenarnya manusia tidak mungkin mampu menyelamatkan dirinya melalui perbuatan baik dan berbagai kebajikan yang dia lakukan. Status keberdosaan manusia telah menjadikan kita lumpuh, najis, dan tidak berdaya untuk berkenan di hadapan Allah. Itu sebabnya seluruh umat manusia membutuhkan Juru-selamat, yang telah hadir di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Melalui iman kepada Kristus, kita yang gagal, lemah, najis dan berdosa dibenarkan serta diampuni oleh Allah.

Jika demikian, bagaimanakah kita selaku orang percaya menyikapi hukum “tabur-tuai”? Sejauh hukum “tabur-tuai” dihayati sebagai bentuk tanggungjawab manusia beriman kepada anugerah pengampunan Allah yang menyelamatkan, sesungguhnya hukum “tabur-tuai” dapat memberikan landasan etis yang kokoh agar kita makin bijaksana dalam menyikapi makna dan tujuan kehidupan ini. Pepatah mengatakan: “Sow a thought you reap an act. Sow an act, you reap a habit. Sow a habit, you reap a character. Sow a character, you reap a consequence” (taburlah gagasan maka kamu akan menabur tindakan. Taburlah tindakan maka kamu akan menabur kebiasaan. Taburlah kebiasaan, maka kamu akan menabur karakter. Taburlah karakter maka kamu akan menabur nasib). Sesungguhnya dalam kehidupan ini kita seperti seorang yang sedang merajut serat-serat dari kabel-kabel kehidupan, sehingga ketika serat-serat dari kabel-kabel itu menjadi jalinan yang kokoh maka kita tidak mampu untuk memutuskannya. Itu sebabnya ketika “kabel-kabel keburukan” yang kita rajut menjadi semakin kuat, maka kita tidak akan mampu untuk memutuskan sampai akhir hayat hidup kita. Tetapi sebaliknya ketika kita merajut serat-serat dari “kabel-kabel kebenaran dan kebaikan” maka dalam kepribadian kita akan terbentuk suatu nilai diri yang mulia dan tidak mudah dipatahkan oleh lingkungan yang buruk dan tidak kondusif. Dengan demikian kualitas diri kita sebenarnya terbentuk dalam proses kehidupan yang sangat panjang, yaitu apakah kepribadian kita benar-benar terbentuk secara murni dari hukum “tabur-tuai” yang positif, ataukah hukum “tabur-tuai” yang buruk; atau mungkin campuran dari hukum “tabur-tuai” yang baik dan buruk. Realita hidup menunjukkan bahwa umat manusia hanya berada dalam kemungkinan hukum “tabur-tuai” yang buruk” dan hukum “tabur-tuai” campuran dari yang baik dan yang buruk. Sebab tidak ada seorangpun yang mampu berbuat baik dan benar sejak dia lahir sampai akhir hidupnya, kecuali satu pribadi bernama Yesus Kristus. Karena itu oleh malaikat Allah, Yesus disebut: “kudus, Anak Allah” (Luk. 1:35). Surat Ibrani juga menyatakan tentang diri Kristus, yaitu: “Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Sehingga dengan iman kepada Kristus, kita dilayakkan dan dibenarkan di hadapan Allah karena pengorbanan diriNya. Kita juga dikaruniakan oleh kuasa Roh Kudus untuk mematahkan serat-serat kuasa dosa yang telah melilit dan membelenggu kehidupan kita begitu kuat, sehingga kita dimampukan untuk hidup sebagai ciptaan baru, yaitu sebagai anak-anak Allah.

Hukum “Tabur-Tuai” Dalam Ciptaan Baru
Manakala kita hidup dalam prinsip hukum “tabur-tuai” menurut pola dan ukuran dari dunia ini, maka kehidupan kita saat ini hanya merupakan rangkaian pembalasan dari berbagai perbuatan buruk dan jahat dari nenek-moyang kita. Para leluhur kita sebagai manusia secara faktual teologis dan moral telah melakukan begitu banyak hal yang buruk, dan kita semua mewarisi pula berbagai sifat dan karakter yang buruk tersebut. Kemudian kita mewariskan DNA kita pula kepada anak-anak kita, lalu diwariskan pula kepada para cucu sampai kepada generasi mendatang. Dengan pola pewarisan sifat, karakter atau DNA manusia turun-temurun maka kehidupan manusia akan terus terjebak kepada hukuman dan pembalasan Allah yang tiada habis-habisnya. Siapakah di antara kita yang dapat mengklaim memiliki DNA yang baik dan unggul? Rasul Paulus berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom. 3:23). Apabila kehidupan ini hanya ditentukan oleh situasi keberdosaan manusia, maka kita semua dalam kehidupan saat ini dan selanjutnya hanya dapat memetik dan menuai hukuman/murka Allah. Dalam keadilan dan kekudusanNya, Allah akan memberi pembalasan dan hukuman terhadap segala hal yang telah dituai oleh umat manusia. Sebab semua orang telah gagal melakukan atau menabur apa yang baik dan benar serta berkenan di hadapan Allah; sehingga semua orang hanya menuai apa yang telah dia tabur.

Melalui berbagai agama, Allah berkenan menyatakan kehendak dan firmanNya agar manusia dapat melepaskan diri dari kuasa dosa. Namun firman Allah yang diwahyukan kepada agama-agama yang ada sepanjang zaman telah terbentur oleh tembok yang kokoh, yaitu suatu kenyataan teologis, yaitu bahwa semua manusia berada di bawah kuasa dosa; sehingga tidak ada seorangpun yang mampu melakukan firman Allah tersebut. Hidup manusia akan tetap berada dalam lingkaran hukum “tabur-tuai” yang mana manusia hanya menuai hal-hal yang buruk karena manusia selalu menabur hal-hal yang buruk dan jahat. Itu sebabnya Allah pada akhirnya memilih cara yang khusus dan unik, yaitu dengan mengaruniakan Kristus agar kita dibenarkan oleh kehidupan dan kematianNya. Surat Ibrani berkata: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan naabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibr. 1:1-2). Jadi dengan pengorbanan dan kematian Kristus di atas kayu salib, Allah secara definitif telah mematahkan “karma” dari hukum “tabur-tuai” agar manusia dapat hidup dalam damai-sejahtera dengan Allah dan dengan sesama serta dirinya. Melalui Kristus, Allah telah menyediakan keselamatan kepada setiap orang agar mereka dapat hidup sebagai ciptaan yang baru. Rasul Paulus berkata: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (II Kor. 5:17). Jadi iman kepada Kristus seharusnya ditandai oleh sikap pertobatan sebagai transformasi spiritualitas dan kehidupan yang baru. Transformasi spiritualitas hidup tersebut bagi orang yang percaya bukan hanya sebagai suatu kemungkinan tetapi diimani sebagai suatu jaminan, bahwa di dalam Kristus kita dimampukan untuk menjadi ciptaan baru.

Rahasia kekuatan dari transformasi spiritualitas ciptaan baru tersebut terletak pada realita teologis dan iman yaitu bahwa Kristus telah menebus kita dari cara hidup kita yang sia-sia yaitu cara hidup yang telah kita warisi dari nenek-moyang kita. Makna dari penebusan Kristus adalah bahwa Dia telah ditetapkan oleh Allah untuk menggantikan atau menebus segenap dosa termasuk pula dosa warisan yang tidak mampu kita pikul dengan kekuatan kita sendiri. Sehingga ketika kita ditebus oleh kematian Kristus, sesungguhnya segenap dosa warisan dari nenek-moyang kita telah dipatahkan oleh Kristus; sehingga dalam perjalanan hidup ke depan kita tidak lagi memikul beban dosa yang begitu berat. Itu sebabnya penulis surat Petrus berkata: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (I Petr. 1:18-19). Dengan demikian iman Kristen menempatkan pengorbanan dan kematian Kristus sebagai penentu keselamatan yang definitif bagi seluruh umat manusia. Sebab tanpa darah dan kematian Kristus, umat manusia akan tetap terus memikul segenap dosa warisan dari nenek-moyang mereka sehingga tidak tersedia kemungkinan bagi umat manusia untuk memperoleh keselamatan dari Allah.

Perspektif Yang Baru Dari “Hukum Tabur-Tuai”
Kristus adalah sumber dan kekuatan dari transformasi hidup, sehingga dengan hidup di dalam Kristus, kita dikaruniakan memiliki perspektif yang baru untuk menyikapi kehidupan ini secara lebih arif dan benar. Melalui kematianNya, kita telah dibebaskan dari kutuk dosa sehingga kita dipulihkan dan dijadikan sebagai anak-anak Allah. Anugerah keselamatan dari Allah ini menjadi titik balik yang menentukan sehingga kita tidak lagi menghabiskan enersi spiritualitas, akali-budi, dan kekuatan manusiawi yang ada untuk berdamai dan berkenan di hadapan Allah. Tetapi di dalam Kristus, kita dibimbing dan dimampukan oleh kuasa anugerah Allah untuk hidup yang baru. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9). Namun apakah setelah itu kita boleh menyerahkan segala kewajiban dan tanggungjawab etis kita kepada Kristus?

Pertanyaan tersebut perlu direnungkan secara mendalam dan serius, karena begitu banyak orang Kristen yang terlalu mudah berkata bahwa “Kristuslah yang akan menentukan kehidupan mereka” atau mereka gampang berkata: “kini kami hidup dengan anugerah keselamatan dari Kristus” tetapi dengan pengertian: mereka ingin melepaskan diri tanggungjawab etis dengan melalaikan makna hukum “tabur-tuai” secara etis! Memang di Ef. 2:8-9 rasul Paulus menyatakan bahwa kita diselamatkan karena kasih karunia Allah yang terjadi bukan karena hasil usaha dan pekerjaan kita. Namun buah keselamatan dari anugerah Allah tersebut kemudian dinyatakan oleh rasul Paulus pada ayat berikutnya, yaitu: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2:10). Jadi dalam Ef. 2:10, rasul Paulus menegaskan bahwa setelah kita menerima anugerah keselamatan dari Allah yang telah dikerjakan oleh Kristus, maka kini kita wajib untuk melakukan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya. Jadi setiap orang Kristen pada hakikatnya tetap terikat oleh hukum “tabur-tuai” yaitu apakah mereka menabur hal-hal yang benar dan mulia sebagai respon mereka terhadap anugerah keselamatan Allah; ataukah sebaliknya justru mereka menabur hal-hal yang buruk dan jahat karena mereka sama sekali tidak menghargai anugerah keselamatan Allah. Manakala mereka menyadari dirinya sebagai buatan atau ciptaan Allah yang baru, maka mereka akan merajut setiap serat kebenaran firman dan hikmat Allah agar terbentuk suatu pola hidup iman yang makin sehat dan menjadi berkat bagi sesamanya. Kepada mereka yang telah memiliki spiritualitas diri sebagai ciptaan baru yang diwujudkan dengan melakukan berbagai pekerjaan baik, maka pastilah mereka juga akan menuai hal-hal yang benar dan mulia. Tetapi kepada mereka yang hanya menjadikan kekristenan sekedar suatu predikat atau simbol belaka tanpa disertai tindakan dan perbuatan yang seharusnya, maka mereka juga akan menuai dari apa yang telah mereka tabur. Dengan demikian nama atau label “kekristenan” yang dinyatakan dalam sakramen baptis-sidi tidak secara otomatis menyelamatkan apabila tidak disertai oleh perbuatan sebagai manifestasi dari tanggungjwab imannya. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga” (Mat. 7:21).

Hukum “tabur-tuai” tetap berlaku bagi setiap umat Kristen. Bahkan hukum “tabur-tuai” menjadi lebih dituntut secara kualitatif etis kepada umat Kristen, karena mereka telah menerima anugerah keselamatan Allah melalui pengorbanan Kristus. Ibr. 10:26-27 berkata: “Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu. Tetapi yang ada ialah kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan semua orang durhaka”. Jadi tidaklah benar ajaran yang menyatakan bahwa setiap orang Kristen pasti diselamatkan! Pernyataan tersebut sangat berbahaya dan menyesatkan, sebab selain tidak bersikap realistis terhadap perilaku buruk/jahat dari oknum-oknum yang beragama Kristen; pernyataan tersebut juga tidak memberi motivasi yang sehat dan menyadarkan umat untuk sungguh-sungguh melaksanakan tanggungjwab etis dan imannya secara konkrit. Namun kepada setiap orang Kristen yang hidup secara berkualitas, dan memiliki spiritualitas serta integritas yang tinggi dan etis sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus, maka pastilah mereka akan memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Padahal di sinilah tuntutan Kristus yang paling berat. Sebab makna hukum “tabur-tuai” tidak lagi dihayati sebagai rangkaian perbuatan dan akibatnya secara lahiriah atau ritual keagamaan belaka . Orang Kristen tidak hanya dituntut untuk melakukan kehendak Allah sebagaimana yang diperintahkan dalam Sepuluh Firman, tetapi mereka juga dituntut sempurna secara batiniah dalam spiritualitas mereka. Dalam hal ini kita diajar oleh Tuhan Yesus agar tidak melakukan kekerasan fisik, tetapi juga kita dilarang oleh Tuhan Yesus untuk marah dan berkata-kata yang jahat sebab dianggap sama dengan tindakan membunuh. Tuhan Yesus berkata: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata keapdamu: setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:21-22). Perspektif yang baru dari Kristus tentang hukum “tabur-tuai” adalah terletak pada kecermatan Kristus terhadap sumber yang terdalam dari hati manusia, yang mana dalam sumber mental tersebut terletak seluruh akar dari berbagai perbuatan jahat. Itu sebabnya setiap orang Kristen dipanggil untuk selalu hidup cermat, jeli, kritis dan mengutamakan segi kedalaman serta kematangan spiritualitasnya agar hidup mereka dapat terus-menerus diterangi oleh Roh Kudus. Sebab apabila mereka hanya benar melakukan tuntutan firman Allah secara fisik, mereka masih harus diadili oleh Allah karena belum melakukan tuntutan firman Allah secara rohaniah sebagaimana yang telah diajarkan dan diteladani oleh Tuhan Yesus Kristus.

WUJUD KARMA MENURUT AJARAM I SLAM

· Posted in


Apakah hukum karma?Adakah dalil yang menerima atau menolaknya?

Hukum Karma boleh didefinasikan sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang samada ianya perbuatan baik atau buruk yang dibalas kembali menurut hukum alam atas apa yang telah seseorang itu lakukan.  Jika ianya perbuatan baik, maka baiklah balasannya dan jika sebaliknya...maka buruklah pembalasan yang seseorang itu akan terima. 

Dari segi bahasanya.....Hukum Karma ini bunyinya seakan-akan selari dengan ajaran agama Islam. Tetapi jika diselami dengan lebih mendalam, ianya sangat jauh berbeza dengan ajaran Agama Islam.  

Pandangan Islam amat jelas melalui Firman Allah swt dalam Surah Az-Zalzalah ayat 99:7-8 maksudnya: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.

Tetapi harus diingat !!!...Apabila disebut Hukum Karma, ianya tidak boleh lari dari kepercayaan penganut- penganut agama Hindu akan pembalasan baik dan buruk ini.

Menurut kepercayaan agama Hindu, Hukum Karma  atau the Law of Karma bermaksud "perbuatan". Karma yang baik diberi pahala dan yang buruk pula mendapat dosa dan akan menjelma dalam bentuk binatang.

Bagi setiap penganut Hindu, mereka perlu melakukan karma atau perbuatan yang baik agar terlepas daripada kelahiran semula yakni lahir semula ke dunia dalam bentuk binatang.  Jika dilakukan perbuatan yang baik,  maka mereka akan kembali Bersama Tuhan penciptanya iaitu Brahma di “Nirwana” atau Syurga menurut agama Hindu.  Agama Hindu dan Buddha keduanya mempercayai akan “Hukum Karma” ini.
Selagi seseorang penganut Hindu itu gagal mencapai Karma yg baik, selagi itu dia akan alami kelahiran semula selepas memasuki neraka buat sementara waktu.

Ini sangat berbeza dengan ajaran islam.   Islam berpandangan bahawa Pertama:, tiada istilah kelahiran semula ke dunia, manusia yang diciptakan Allah hanya hidup sekali sahaja di dunia ini dan hanya dibangkitkan di akhirat bagi Allah menghitung dan membalas amal perbuatan mereka semasa hidup di dunia ini samada masuk Neraka atau Ke Syurga.   Oleh itu hukum karma itu tertolak dengan sendiri.

Mempercayai hukum karma menurut pandangan dan fahaman agama Hindu seperti dilahirkan semula ke dunia ini buat kali yang kedua boleh menyebabkan seseorang Islam itu terkeluar dari Agama Islam yang suci.  Oleh itu adalah haram kita mempercayai kelahiran semula ini, kerana sesudah mati,  kita akan menanti hingga datangnya hari pembalasan iaitu hari Kiamat.

Ada yang bertanyakan tentang konsep Kifarah dalam islam yang seakan sama dengan hukum karma.   

Ok...maksud Kifarah ialah:
Kifarah adalah balasan Allah di dunia akibat dosa yang dilakukan oleh seorang hambanya, juga ujian-ujian Allah itu boleh berlaku, yang mungkin melibatkan kematian orang yang dikasihi, kehilangan harta benda ataupun penyakit, tidak kira sama ada penyakit tersebut berlaku dalam tempoh masa yang lama ataupun sekejap bergantung kepada ketentuan (qada’) Ilahi atau buat selama-lamanya sehingga mati. Selagi ketentuan (qada’) bagi sakit itu belum menepati qada’ Allah, maka sakit (kifarah) tadi tidak akan sembuh biarpun pelbagai usaha dilakukan oleh manusia jelas di.sini membuktikan bahawa ada di antara penyakit itu akan sembuh dengan sendiri biarpun tanpa usaha manusia untuk mendapatkan kesembuhan ataupun tidak akan sembuh biarpun banyak usaha untuk menyembuhkannya telah dilakukan.


Perlu kita faham....bahawa hukum karma menurut agama Hindu, jika berbuat jahat...akan dibalas seseorang itu dengan dihidupkan semula ke dunia ini dalam bentuk binatang.  Manakala Kifarah dalam Islam...contohnya seperti maksud di atas dan...seperti dosa menderhaka kepada kedua ibu dan bapa...Allah S.W.T membayar CASH atau membalas perbuatan itu terhadap anak derhaka tersebut ketika hidup di dunia ini tanpa menunggu ia mati.
Tidakkah ajaran Islam itu sangat berbeza dengan hukum Karma tersebut.

Hukum karma adalah kepercayaan orang yang beragama Hindu. Kita sebagai orang Islam memiliki rukun Islam dan rukun Iman kita sendiri.
Kenapa harus kita mengambil hukum yang selain dari hukum Allah.

Firman Allah S.W.T,
“Sesungguhnya agama (yang diredhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Surah Ali Imran, 3: 19)
Dan firman-Nya lagi, “Barangsiapa yang mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Surah Ali Imran, 3: 85)
Kerana itu jugalah Allah S.W.T. mengutuskan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad S.A.W yang menjadi rahmat sekalian alam supaya mengajak Ahlul Kitab sama ada dari orang-orang Yahudi atau pun Nasrani (Kristian) serta golongan yang ummi dari kalangan orang-orang musyrik kepada jalan agama Allah iaitu Islam yang mengandungi petunjuk dan syari’at-Nya.

KARMA PHALA MENURUT AJARAN HINDU

· Posted in


Karma berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya kerja atau berbuat.

Konsep hukum karma adalah bahwa setiap perbuatan akan memberikan hasil yang disebut ( phala ). Sehingga setiap hasil yang dipetik atau diterima oleh seseorang atas perbuatannya disebut karma phala.

Hukum karma adalah hukum Tuhan yang berlaku bagi semua orang. Tidak memandang apakah orang tersebut percaya atau tidak hukum karma tetap berlaku. Seperti hukum terbitnya matahari dari timur, orang buta ataupun orang eskimo yang tidak pernah melihat matahari, bukan berarti matahari tidak ada. Matahari tetap terbit dari timur. Demikianlah hukum karma berlaku bagi semua umat manusia dari semua negara, semua suku bangsa dan semua agama.

Dalam ajaran Hindu , hukum karma merupakan ajaran sebagai landasan ajaran etika dan pegangan dalam mencapai tujuan hidup.

Karma atau perbuatan ini ada tiga bentuk yaitu karma yang dilakukan oleh pikiran ( Manah ), karma dalam bentuk ucapan (waca ), dan karma dalam bentuk tindakan jasmanani ( kaya ).

Jadi apapun bentuk aktivitas seseorang pasti ada phalanya (hasilnya) .Ini berarti tidak ada perbuatan yang tanpa membuahkan hasil, sekecil apapun kegiatan tersebut.

Sedangkan jika dilihat dari baik buruknya maka perbuatan yang baik disebut Subha karma dan perbuatan yang buruk disebut Asubha karma.

Proses berlakunya karma phala

Setiap aktivitas karma seseorang didasari oleh keinginan ( Iccha ). Timbulnya keinginan akan direspon oleh pikiran. Pikiran inilah yang akan mengambil keputusan untuk melakukan tindakan dalam bentuk ucapan ataupun tindakan jasmani. Keputusan pikiran sangat ditentukan oleh pengetahuan (jnana), kebijaksanaan ( wiweka), pengalaman hidup serta karmawasana seseorang.

Jika digambarkan maka proses karma seseorang sebagai berikut :



Wujud Karma phala

Banyak orang menafsirkan bahwa wujud dari karma phala ( hasil perbuatan ) seseorang adalah berbentuk materi, seperti kekayaan, kecantikan atau ketampanan, jabatan, kehormatan dan sebagainya yang semata-mata diukur dari segi materi.

Secara garis besar memang wujud karmaphala ada dua yaitu berbentuk fisik dan psikis( batin).

Artinya hasil dari perbuatan tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh badan jasmani melalui panca indria atau juga bisa memberikan suasana batin tertentu pada seseorang.

Contoh:

Jika seseorang pernah berbuat baik misalnya membantu orang yang jatuh di jalan , suatu saat ketika dia terjatuh di jalan akan ada orang lain yang menolong. Ini adalah phala secara fisik.

Contoh lain mungkin ada orang yang suka menipu justru akan membuat hatinya tersiksa karena selalu was-was, selalu berprasangka bahwa tipu dayanya akan ketahuan oleh orang lain. Ini berarti secara psikis dia menderita.

Wujud dari karmaphala yang akan diterima seseorang tidak dapat dipastikan. Artinya hasil karma tersebut bisa saja berbentuk fisik, atau psikis, ataupun kedua nya yaitu fisik dan psikis. Demikian pula kapan waktunya akan diterima seseorang atas perbuatannya juga merupakan rahasia Hyang Widhi. Yang jelas bahwa karmaphala itu ada dan akan hadir tepat pada waktunya.

Diatas kedua wujud karmaphala di atas yang terpenting untuk menjadi tolok ukur atas hasil perbuatan seseorang adalah akibat dari wujud karmaphala tersebut.

Artinya seseorang yang menerima karmaphala baik berwujud fisik maupun psikis apakah mengakibatkan adanya peningkatan kualitas sradha atau tidak. Apakah menyebabkan kebahagiaan atau penderitaan?

Contoh :

Seseorang yang mendapatkan uang sangat banyak dari hasil judi, diukur dari segi fisik tentu menyenangkan. Tetapi kemenangan itu justru menyebabkan dia semakin tergila-gila pada judi, suka berfoya-foya semata-mata memenuhi nafsu keinginannya. Suatu saat jika dia kalah berjudi maka kekesalan dan kemarahannya akan dilempahkan pada orang lain, seperti anak atau istrinya.

Ini menunjukkan bahwa uang yang diperoleh dari hasil judi tersebut bukan karmaphala yang baik, karena akibat dari uang yang diterima terebut justrui menjerumuskan dirinya pada karma-karma yang lebih buruk.

Contoh lain mungkin ada seseorang yang secara fisik cacat jasmani, tetapi dengan kekurangannya tersebut memberikan dia inspirasi dan kesadaran bahwa hidup ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, sehingga dia menjadi orang yang teguh sradha bhakti, serta senantiasa merasa tentram . Jadi cacat jasmani tersebut bukan hasil karma buruk tetapi merupakan hasil karma baik yang membawa kebahagiaan bagi dirinya. Seperti halnya seseorang minum obat pahit untuk kesembuhan dari penyakitnya.

Kesimpulannya:

Karmaphala yang baik adalah yang dapat meningkatkan kualitas sradha bhakti untuk mencapai kebahagiaan lahir batin ( moksartham jagat hita )

Karmaphala yang buruk adalah yang menyebabkan seseorang menderita lahir batin dan menurunkan kualitas sradha bhakti.

Dampak karma bagi seseorang

Setiap karma yang dilakukan setidak-tidaknya ada tiga akibat yang terjadi :

Karma akan memberi akibat atau balasan atas setiap perbuatan manusia. Baik atau buruk yang akan diterima sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.
Karma akan memberi kesan tersendiri kepada pelakunya yang akan melekat pada pikiran pelakunya.
Karma akan membentuk kepribadian seseorang.
Karma yang memberi kesan dan menjadi kepribadian jiwatman inilah yang merupakan karmawasana setiap orang, selalu melekat pada setiap kelahirannya.

Tiga Macam Karma

Jika dilihat dari segi waktu hasil karma seseorang maka dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu :

Sanchita Karma
Prarabdha Karma
Kryamana Karma
Sancitha karma adalah hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang.

Prarabdha karma adalah karma atau perbuatan seseorang yang pahalanya langsung diterima pada kehidupan ini.

Kryamana karma adalah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang..

Meskipun kita menggolongkan karma tersebut seperti di atas tetapi dalam kenyataan sangat sulit bagi kita untuk mengidentifikasi setiap karma yang kita terima saat ini. Mengenai kapan waktu kita akan menerima pahala atas karma yang kita lakukan juga merupakan rahasia Ida sang Hyang Widhi.

Manfaat kita mengetahui jenis-jenis karma tersebut adalah untuk meningkatkan sradha dan bhakti kepada Hyang Widhi. Kita harus yakin bahwa apapun yang kita alami pada kehidupan ini adalah hasil perbuatan diri sendiri. Bukan karena orang lain. Bisa saja merupakan pahala atas karma kita pada kehidupan terdahulu, atau pahala atas karma kita masa kini.

Oleh karena itu yang terbaik harus dilakukan adalah melaksanakan tugas sebaik-baiknya, selalu berbuat kebaikan serta tetap yakin dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Laksanakan semua kewajiban sebagai yadnya dan bhakti kepada Ida sang Hyang Widhi. Jika hal itu sudah dilakukan maka Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik bagi kita. Apa yang seharusnya kita butuhkan pasti akan terpenuhi, sebagaimana wahyu Beliau dalam Kitab Bhagawad Gita Bab IX Sloka 22 :

Mereka yang memuja-Ku dan hanya bermeditasi kepada-Ku saja, kepada mereka yang senantiasa gigih demikian itu, akan Aku bawakan segala apa yang belum dimilikinya dan akan menjaga yang sudah dimilikinya.

Pelaksana Karmaphala

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa wujud karmaphala bisa berbentuk fisik bisa juga berbentuk psikis. Jika karma seseorang harus diterima setelah meninggal dunia maka atmannya akan menuju sorga atau neraka. Tetapi bagaimana bentuk pahala dari karma yang harus dinikmati pada kehidupan ini?

Tentu saja akibat karma akan dirasakan oleh seseorang melalui interaksi dengan lingkungan, baik alam maupun sesama manusia. Pahala karma bisa saja dirasakan melalui tangan manusia, binatang, tumbuhan, serta bisa juga dari alam. Sehingga manusia disamping akan menerima pahala atas karmanya, tetapi juga sebagai alat untuk membalas karma orang lain.

Contoh sederhana mungkin suatu ketika kita menerima bantuan dari orang lain dimana pada waktu tersebut kita benar-benar memerlukan pertolongan tersebut. Kejadian ini buakanlah suatu kebetulan. Itu adalah hasil karma kita yang mungkin kita sudah lupa kapan melakukannya, sehingga disaat yang tepat kita akan menerimanya. Dalam peristiwa tersebut yang menjadi alat Tuhan untuk menyampaikan pahala atas karma tersebut adalah manusia ( orang lain).

Meskipun manusia adalah alat pembalas karma, bukan berarti dia terbebas atas karma yang diperbuatnya itu tetapi pahala akan selalu mengikuti karma yang dilakukannya.

Misalkan Andi menolong Budi yang terjatuh dari sepeda motor. Dalam peristiwa tersebut Budi menerima pahala dalam bentuk pertolongan dari Andi, pahala tersebut mungkin saja atas kebaikan Budi di waktu lalu Dalam kasus ini Andi adalah sebagai alat pembalas karma perbuatan Budi di masa lalu. Meskipun Andi sebagai alat , atas perbuatannya menolong budi dia juga akan mendapat pahala atas karma tersebut.

Jadi setiap peristiwa karma yang melibatkan lebih dari satu orang maka dalam peristiwa tersebut ada dua jenis proses karma yang terjadi yaitu ada pihak yang menerima hasil karmanya dan ada orang yang yang berkarma dimana hasilnya belum diketahui kapan akan diterima.

Demikian pula alam bisa saja sebagai alat pembalas karma. Bencana alam bukanlah hukuman Tuhan, tetapi semua itu akibat perbuatan manusia sendiri.

PENGERTIAN KARMA

· Posted in


Apakah Karma Itu Ada?
June 25, 2010 by Muhammad Assad
Selama ini saya atau mungkin juga anda, jika ada teman yang ingin berbuat jahat kepada orang lain, maka kita akan bilang ke mereka yang kurang lebihnya, “hati-hati nanti kena karma lho!” Kata karma menjadi cukup sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Lalu pertanyaannya, apakah benar karma itu ada? Seperti apa bentuknya? Beberapa teman pun sudah ada yang menanyakan tentang hal ini kepada saya. Maka dari itu, pada edisi #notesfromQatar ini saya akan coba membahas tentang hukum karma ini.

.

Pengertian Karma

Kata “Karma” berasal dari agama Budha yang berarti “hukum sebab-akibat moral” atau kerennya “the law of moral causation”. Agama Budha meyakini bahwa jika seseorang ingin mencapai Nirwana (Surga) maka setiap yang berdosa harus membayar kontan semua dosanya dengan cara diberikan kesempatan kedua yang bernama karma, yaitu terlahir kembali ke dunia dan menemui masalah yang sama, dan dilihat apakah mereka serius ingin menebus dosa atau cuma main-main.

.

Selain itu, pemahaman tentang karma adalah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup manusia adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri. Misalkan, jika ada orang yang tertimpa musibah dan sial terus menerus setahun non-stop, maka itu semua adalah akibat perbuatan yang dia lakukan di masa lampau. Jika dia tidak mendapat balasan semasa hidup di dunia, maka akan dibalaskan kepada keturunannya. Jadi ada dosa warisan/turunan dalam hukum karma.

.

Menariknya, di Indonesia, pengertian karma ini berkembang menjadi sebuah hukuman bagi seorang pelaku kejahatan. Sehingga konotasi karma lebih kepada hukuman bagi perilaku negatif atau jahat saja. Makanya kenapa kita tidak akan pernah mendengar jika ada orang yang ingin berbuat baik kepada orang lain lalu ada yang menegur, “hey hati-hati berbuat baik sama dia, nanti kena karma!” hehehe..

.

Islam dan Hukum Karma

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Allah SWT juga memiliki nama lain yang berhubungan dengan keadilan seperti Al-‘Adl (Yang Maha Adil) atau Al-Hakim (Yang Maha Menghakimi). Di dalam Al-Qur’an sendiri juga dijelaskan bahwa segala perbuatan, baik ataupun buruk, sekecil apapun, pasti akan mendapat ganjaran dari Sang Maha Kuasa.

.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji atom), niscaya dia akan menerima (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (biji atom) pun, niscaya dia akan menerima (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah [99]:7-8)

.

Lalu bagaimana Islam memandang hukum karma? Menurut pendapat saya hukum karma tidak ada dalam Islam karena itu jelas berbeda dengan prinsip keimanan yang diajarkan oleh Islam. Dalam Islam kita memiliki iman yang meyakini bahwa Allah Maha Adil dan segala perbuatan kita pasti akan ada balasannya, baik di dunia ataupun di akhirat nanti.

.

Namun, Islam tidak mengenal adanya kesempatan kedua untuk turun di dunia memperbaiki segala kesalahan serta adanya dosa turunan yang akan diwariskan kepada keturunannya. Karena setiap manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dia lakukan, dan bukan orang lain atau keturunannya. Ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (perbuatannya).” (HR. Bukhari)

.

Selain itu, tidak semua hal yang terjadi pada diri manusia adalah karena “investasi” kebaikan atau kejahatannya di masa yang lampau. Karena bisa saja kebaikan yang diberikan kepada manusia itu karena memang Allah SWT sedang mencurahkan rahmat-Nya, atau bisa juga permasalahan yang dihadapi manusia adalah suatu cobaan dari-Nya agar manusia tersebut lulus ke tingkatan selanjutnya. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang manusia tersebut lakukan di masa yang lampau, tapi cobaan tersebut bertujuan untuk menguji keimanan hamba-Nya.

.

Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya: “Apakah orang-orang mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja seenaknya berkata: “Kami telah beriman”, padahal keimanan mereka itu belum diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2-3)

.

Di sini jelas ada perbedaan mendasar antara hukum karma dengan apa yang diyakini oleh Islam. Tapi yang pasti, Allah adalah Raja dari segala raja keadilan. Seperti yang dijelaskan dalam Surat Al-Zalzalah bahwa segala perbuatan akan ada balasannya. Jika manusia itu berbuat baik, maka balasannya pun pahala dan kebaikan. Sebaliknya, jika manusia itu berbuat kejahatan, maka dosa lah balasannya. Jadi seperti ada hukum reward and punishment / carrot and stick.

.


Berbuat Baiklah Sebanyak-banyaknya!

Niat merupakan komponen dasar dari perbuatan baik atau buruk seseorang. Rasulullah SAW menjelaskan dalam hadtisnya bahwa segala amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Suatu perbuatan akan menjadi kebaikan jika diniatkan hanya karena Allah SWT (lillaahi ta’ala). Jika niatnya sudah baik, maka perbuatannya pun akan menjadi baik, walaupun hasil yang diinginkan tidak tercapai. Tapi Allah SWT sudah mencatatkan sebagai amal kebaikan. Subhanallah bukan?

.

Di dalam Al-Qur’an, jika Allah SWT memerintahkan untuk berbuat kebaikan, terkadang bersamaan dengan perintah menegakkan keadilan. Ini isyarat bahwa berbuat kebaikan itu biasanya didapatkan dengak kebiasaan berlaku adil. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. An-Nahl [16]:90)

.

Islam mendorong umatnya untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan dan taqwa, dan balasan bagi segala perbuatan baik itu ada yang langsung dibalaskan di dunia, dan ada juga yang ditangguhkan untuk dibayarkan di akhirat. Seperti dalam firman-Nya, “Berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:148)

.

Berbuat baik itu tidak mengenal usia, ras ataupun golongan. Kita diperintahkan untuk berbuat kebaikan kepada semua orang. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an, “Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (orang yang bepergian) dan hamba sahayamu (pembantu).” (QS. An-Nisa [4]:36)

.

Allah SWT berfirman, “Bukanlah kebajikan itu menghadapkan muka ke arah timur dan barat, tetapi yang termasuk kebajikan ialah beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, Kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan bantuan yang disayanginya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang terlantar dalam perjalanan, peminta-minta, dan memerdekakan perbudakan, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, menepati janji yang telah diperbuat, sabar menderita kemiskinan dan kemelaratan, terutama ketika perang. Itulah orang-orang yang benar keimanannya, dan itu pulalah orang-orang yang takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]:177)

.

Sebenernya mudah saja untuk mengetahui apa yang kita lakukan itu perbuatan baik atau tidak. Kita semua kan punya hati nurani. Sebelum melakukan sesuatu, coba tanya di dalam hati apakah itu perbuatan yang baik atau buruk. Jawaban suara hati tidak akan pernah berbohong. Misalkan saat kita menolong orang lain, suara hati pasti akan terasa senang. Lain halnya saat kita mencuri atau melakukan kesalahan, suara hati pasti mengatakan bahwa itu salah dan terjadi pemberontakan di dalam hati. Tapi ingat, jika kita terus menerus melakukan kejahatan, lama-lama suara hati akan tertutup dengan sendirinya, dan kita bisa menjadi sesat-sesesatnya.

.

Lalu apa balasan dari kebaikan yang dilakukan? Ya tentu saja kebaikan juga. Seperti firman-Nya, “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.” (QS. Ar-Rahman [55]:60).

.

Maka dari itu berbuat baiklah kepada siapapun, bahkan kepada orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Mengapa? Karena kebaikan tersebut dilipatgandakan di sisi-Nya. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Qur’an, “Mereka itu diberi pahala dua kali lipat disebabkan kesabaran mereka dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” (QS. Al-Qashash [28]:54)

.

Dalam ayat di atas jelas bahwa segala kebaikan akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT, dan setiap kejahatan dibalaskan setimpal dengan apa yang dilakukan. Di sinilah letak kebaikan dan keadilan dari Sang Maha Menghakimi. Dia berikan ganjaran yang lebih kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Namun untuk pelaku kejahatan dibalas setimpal dengan kejahatannya. Allah SWT tidak menzolimi sedikitpun terhadap orang-orang yang berbuat jahat. Subhanallah…

.

Coba perhatikan ayat ini, “Siapa yang datang membawa kebaikan, baginya pahala yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan siapa yang datang membawa kejahatan, tidaklah diberi balasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan seimbang dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (SQ. Al-Qashash [28]:84)

.

Bagaimana Dengan Perbuatan Jahat?

Ada madu, ada racun. Begitu pula dengan perbuatan manusia. Ada perbuatan baik, dan tentu saja ada perbuatan yang kurang baik. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Allah SWT adalah Al-‘Adl atau Yang Maha Adil. Termasuk tentu saja jika kita melakukan perbuatan jahat, maka ada hukuman yang setimpal. Hukumannya pun bukan hanya dibalas di dunia, namun yang lebih mengerikan akan dibalas di neraka.

.

Ancaman hukuman neraka itu sebenarnya bukan karena Allah SWT jahat dan ingin menghukum manusia. Justru, Sang Maha Berkuasa teramat baik dengan memberikan peringatan tersebut agar manusia tidak tersesat dan disiksa. Seperti seorang Ibu yang memperingatkan anaknya agar tidak bermain di jalanan, karena kalau tertabrak mobil akan sakit, dan bisa meninggal. Kurang lebih seperti itulah analoginya.

.

Untuk menutup #notesfromQatar kali ini, saya ingin menegaskan bahwa Islam tidak mengenal yang namanya hukum karma karena memang tidak ada sumbernya, baik dari nash Al-Qur’an ataupun hadits-hadits shahih. Karma yang berasal dari agama Budha sangat berbeda dengan ajaran Islam. Namun begitu, Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan, telah mengajarkan bahwa segala perbuatan baik atau buruk, sekecil apapun, pasti akan mendapat balasan dari Allah SWT.

.

Jika di dunia belum dibalaskan, maka yakinlah bahwa di akhirat kita tidak akan lolos. Semua manusia akan memanen apa yang ditanam selama hidup di dunia. Karena itu, lakukanlah kebaikan dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Dan jika ada orang yang berbuat kejahatan kepada kita, tenang saja dan tidak usah dendam karena yakinlah bahwa ada Sang Maha Melihat yang akan selalu mengawasi dan tidak akan ada satu hal pun yang terlewat dari pandangan-Nya.

KARMA ORANGTUA DAN ANAK

· Posted in


Seorang mahasiswi menangis tersedu-sedu dihadapan dosen agama Buddha yang penuh kasih terhadapnya. Ia sedih, kecewa, dan agak tergoncang batinnya menghadapi kenyataan pahit yang harus diterimanya saat ini. Ia tidak menduga bahwa hubungan cinta yang telah dibinanya selama ini harus kandas di tengah jalan. Ia tidak menyangka bahwa calon mertuanya akan menolak dirinya sebagai menantu hanya karena ia mempunyai seorang ayah yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan. Ia sedih karena calon mertuanya beranggpan bahwa jika orangtuanya berkelakuan tidak baik, maka anaknya pasti mempunyai kelakuan yang tidak baik pula. Ia kecewa karena ia merasa bahwa anggapan itu tidak berlaku terhadap dirinya. Dengan penuh kesabaran, dosen agama Buddha tadi memberikan nasihat-nasihat yang ternyata dapat menghibur mahasiswi tersebut.
Sesungguhnya karma orang-tua tidak menurun kepada anaknya karena setiap makhluk membawa karmanya masing-masing. Namun, memang ada persamaan karma antara orangtua dan anak sehingga mereka bisa berkumpul dalam satu keluarga. S etiap makhluk yang akan bertumimbal lahir harus mempunyai getaran karma yang sama dengan orang tuannya. Jadi, pada saat mahasiswi tadi bertumimbal lahir melalui kandungan ibunya, ia mempunyai getaran karma yang sama pula. Jika ia mempunyai ayah yang berkelakuan tidak baik, maka ini merupakan buah dari karma buruk yangpernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau. Dengan demikian, ia tidak boleh membenci ayaknya. Ia tidak boleh menyalahkan ayahnya. Ia tidak boleh beranggapan bahwa ayahnyalah yang merupakan penyebab putushnya hubungan cointanya dengan teman kuliahnya itu.
Sesungguhnya, hubungan cintanya juga bisa putus diakibatkan oleh karma buruk lain yangpernah dilakulkannya pada kehidupan yang lampau.
Dalam kita suci Dhammapada Bab XXIII ayat 332, dikatakan:
“Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap petapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap para ariya (orang suci) juga merupakan kebahagiaan.”
Ayah dan ibu merupakan orang tua kita. Walau bagaimanapun buruknya sifat ayah dan ibu kita, mereka tetap orangtua kita. Sebagai anak, kita wajib menghormati dan menyayangi mereka. Jika mereka berkelakuan tidak baik, maka kita wajib berusaha untuk menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar. Memang ini bukan merupakan suatu tugas yang mudah, tetapi usaha kita lakukan dengan penuh pengorbanan pun tak akan sia sia.
Anak yang baik tidak akan menyalahkan orang lain bila ia menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Hendalnya ia menyadari bahwa penderitaan itu hanya datang kepada orang yang memang harus menerimanya. Ia akan menerima penderitaan itu dengan tabah walau tidakd apat dipungkiri bahwa pada saat itu pasti batinnya agak tergoncang.Namun, ia tidak akan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan menyadariu bahwa tak ada gunanya menyesali peristiwa yang telah terjadi. Jika hubungan cinta itu memang harus kandas di tengah jalan, maka hal ini tidka perlu terlalu ditangisi. Masih ada kirannya pemuda lain yang lebih baik dari dia. Masih ada calon mertua yang dapat mengerti keadaannya dan mau menerimanya sebagai menantu. Masih banyak orang tua yang tidak berpandang picik seperti tersebut diatas. Dan masih banyak orang tua yang yakin bahwa menantunya merupakan orang yang bnaik walaupun orangtuan menantunya berkelakuan tidak baik.
Mahasiswi di atas merupakan gasid yang baik. Ia dapat menjadi baik berkat pendidikan agama yang diperolehnya di bangku sekolah. Ia tekun belajar agama Buddha. Ia rajin mendengarkan dan berdiskusi Dharma dengan tokon-tokoh Buddhis. Ia senantiasa berusaha melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupannya sehari-hari. Ia senang berbuat amal sesuai denga kemampuannya. Jika kelak ia berumah tangga, ia telah bertekad untuk menjadi seorang isteri yang setia dan puas hanya dengan seorang suami serta senantiasa menghormati ayah dan ibu mertuanya sebagai dewa dan dewi. Ia yang telah terbiasa hidup sederhana itu bertekad untuk tidak menjadi isteri yangmaterialistis. Sesungguhnya, pemuda yang dapat memperisterinya itu akan bahagia. Dengan demikian, nyatalah bahwa dari orangtua yang berkelakuan tidak baik mungkin saja muncul anak-anak yang berkelakuan baik.
Dalam Dhammapada Bab III ayat 43, dikatakan:
“Bukan seorang ibu, ayah, maupun sanak keluarga lain yang dapat melakukan; melainkan pikiran sendiri yang diarahkan dengan baik yang akan dapat mengangkat derajat seseorang.”

ARTI HUKUM KARMA

· Posted in


Tidakkah kamu percaya pada hukum karma? hari ini saya ingin membahas mendalam mengenai hukum karma. Menurut saya pribadi hukum karma merupakan suatu timbal balik alami manusia dari Tuhannya. Dalam hal ini hukum karma menjawab keraguan masyarakat atas tindakan kesalahan seseorang.

Di jaman dahulu hukum karma biasanya terjadi pada mereka yang menyimpang dari ajaran agama Tuhanya, seperti dengan adanya banjir besar ataupun wabah penyakit yang menjangkit kaum yam membangkang itu. Namun dalam pengertian lain hukum karma ini merupakan hubungan timbal balik antara menusia dengan alam. Contoh sederhananya adalah ketika kita melakukan penebangan pohon secara berlebihan maka banjir pun menjadi hukum karma yang tak bisa dihindari. Dan yang pasti adalah hukum ini selalu menghantui orang-orang yang berbuat kenistaan.

Jauh di balik itu semua saya selalu terpikir akan hukum karma yang menimpa beberapa keluarga di Indonesia. Katakanlah hukum karma yang menimpa sebuah keluarga yang seluruh anggota keluarganya buta misalkan, berdasarkan silsilah yang telah ditelusuri mereka mengakui bahwa sebelum mereka dilahirkan orang tua mereka telah membuat kesalahan baik kepada makluk-Nya maupun kepada alam sekitar. Saya pernah mendengar informasi bahwa salah satu dari orang tua mereka pernah menutup lubang ular yang ada di dekat rumahnya, dan kala itu pula mereka kehilangan penglihatan mereka. Wallohu a’lam… saya tidak tahu persis apa yang menyebabkan mereka demikian tapi yang pasti kita harus selalu berdoa agar tetap berada dalam lindungan-Nya.

Satu hal lagi yang masih saya khawatirkan, dengan banyaknya hukum karma di sekitar kita ditakutkan nantinya orang akan lebih mempercayai ilmu hitam -hukum karma yang identik dengannya- sehingga menduakan Illahi bisa menjadi sesuatu yang sangat fatal akibatnya. Mungkin khawatirku terlihat berlebihan namun taukah anda di era modern ini terkadang masih aja ada film yang menampilkan tanda tanda musibah.(misal orang kecelakaan fotonya yang dirumah akan jatuh) padahal tak ada hubungan yang pasti.

Satu lagi yang mungkin teramat menggila ketika ada seorang suami istri menikah padahal mereka masih satu darah alias masih sekeluarga, hal ini benar benar terjadi pada tetangga saya. Alhasil anak anak dari pasangan itu tak bisa lahir sempurnya, apakah ini merupakan hukum karma ataukah hanya kebetulan semata? Di sisi lain pihak medis juga dapat menjelaskan bahwa pernikahan sedarah akan membuat orang tidak bisa menghasilkan keturunan normal.

Wallohu a’lam.. semua kembali kpada kita tentang bagaimana kita menyikapi hal ini dengan arif dan bijaksana…dan yang pasti tetap menjaga keimanan apapun yang terjadi pada diri kita,

KONSEP DIRI NEGATIF DAN POSITIF 1


Konsep diri merupakan faktor penting didalam berinteraksi. Hal ini disebabkan oleh setiap individu dalam bertingkah laku sedapat mungkin disesuaikan dengan konsep diri. Kemampuan manusia bila dibandingkan dengan mahluk lain adalah lebih mampu menyadari siapa dirinya, mengobservasi diri dalam setiap tindakan serta mampu mengevaluasi setiap tindakan sehingga mengerti dan memahami tingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan.


Konsep Diri


Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif.
Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.
Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.
Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.
Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan.
Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.
Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.
 Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN KHUSUS


BEBERAPA KEPRIBADIAN KHUSUS

(Peserta Anda Mungkin Berada di Antaranya)



KOMPULSIF DAN IMPULSIF

Kompulsif

Adi merasa perlu melakukan segala sesuatu dengan cara tertentu setepat mungkin. Orang sering menganggap dia bersikap kaku, karena berpegang teguh pada kegiatan rutin yang ditetapkannya. Baran-barang miliknya selalu diatur rapi dan ia juga mengatur waktunya dengan cermat sekali. Seringkali ia mengetahui dengan pasti dan rinci apa yang akan dilakukannya setiap hari jauh-jauh hari sebelumnya. Dibandingkan dengan orang lain. Adi memerlukan waktu yang lebih lama untu melaksanakan tugas-tugasnya karena hal-hal kecilpun diperhatikannya untuk menjamin bahwa ia bekerja dengan seksama. Tidak mudah bagi Adi untuk melepaskan atau melupakan sesuatu dan kemudian pergi bersenang-senang. Ia merasa tidak tentram dengan keadaan yang tidak teratur rapi. Berbagai hal yang menyelesa kesibukan dan orang-orang yang salah meletakkan barang-barang, sangat mengganggunya. Adi mempunyai perasaan bersalah yang tidak dapat diatasinya. Ia tidak dapat merasa “benar” kecuali bila secara terus menerus ia membuktikan harga dirinya dengan bekerja keras dan produktif serta memberikan pelayanan kasih.
Adi akan merasa lebih tentram dengan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan tidak menonjolkan diri. Ia merasa tidak tentram dengan keadaan yang tidak teratur dan tertata rapi. Ia orang yang tepat untuk mengurus keuangan dan akuntansi. Demikian pula dalam penyusunan rencana dan tugas serta berbagai jadwal pekerjaan yang membutuhkan perhatian penuh dan kesabaran tinggi. Adi akan melakukannya dengan baik.
Tapi perlu diingat, jangan sampai menekannya, karena sesungguhnya ia telah merasa cukup tertekan, bila ia menunda pekerjaan karena ia merasa usahanya belum cukup baik. Kita harus memberi perhatian dan ucapan terima kasih kepadanya atas keberhasilan yang dicapainya selama ini. Jangan sampai dibiarkan Adi tinggal sendiri untuk “menyelesaikan pekerjaannya” sementara semua orang meninggalkan pekerjaannya. Kita undang dia menemui kita, dan katakan kepadanya bahwa kita ingin menemaninya, kita harus bersikap ceria, jangan cemberut karena dia akan penuh tanda tanya (bertanya-tanya), terbuka dan ramah terhadapnya, terutama bila pekerjaannya tidak terlalu produktif (tidak berhasil dengan baik). Kita harus berusaha agar tidak menolaknya, karena akan memperberat keraguan akan dirinya.

Impulsif

Sari dalam banyak hal justru sebaliknya. Ia selalu bekerja dengan desakan waktu. Bila timbul sesuatu ide dalam pikirannya. Ia akan langsung melaksanakannya tanpa memikirkannya dengan baik. Sari tidak pernah membuat rencana sebelumnya. Dan sering tampak kurang memperhatikan kewajiban dan komitmennya. Ia dapat meninggalkan setengah selesai bila tiba-tiba muncul ide lain. Sering kali Sari mendapat ide (insight) yang baik, dan menemukan jalan keluar yang kreatif dalam situasi yang genting. Ia juga dapat bersikap menyenangkan, dan membawa kelegaan dalam menghadapi masalah-masalah yang berat. Sari membutuhkan mekanisme kerja yang sangat berbeda dari Eva. Sebaliknya ia tidak diberi tanggung jawab atas suatu tugas yang mungkin dapat mengacau segalanya, bila ia tidak berhasil mengerjakannya, ia harus diberi batas waktu untuk menentukan pilihan, guna meyelesaikan suatu pekerjaan,mendahului batas waktu yang sebenarnya. Harus diberitahukan kepadanya ketidakpuasan kita secara terbuka. Bila ia tidak menepati batas waktunya. Ia perlu mengetahui, bahwa ia akan merepotkan orang lain. Tentu saja, harus diusahakan agar kita memusatkan perhatian pada masalah yang sedang dihadapi, sebaliknya kita tidak mengungkit masa lalu atau kesalahan di masa lampau, karena dia sangat perasa. Bila perlu memberikan kesempatan mengajukan usul secara terbuka, kita minta Sari mengajukan usulnya sebanyak mungkin. Bila kita merasa sulit untuk bersikap santai, kita coba mempertimbangkan usul-usulnya yang spontan : “bagaimana kalau kita ke pantai sekarang ?”. Pada hakikatnya Sari perlu belajar mengetahui kapan pola sikap implusif itu menimbulkan masalah, dan kapan sebaliknya bermanfaat untuk menikmati keceriaan hidup.


MENGUASAI DAN MENYERAH PADA SITUASI

Menguasai Situasi

Wini merasa dirinya tidak aman bila tidak dapat menguasai situasi. Ia ingin berkuasa bila ada kesempatan dan akan bertindak dengan keras. Orang lain harus memperhatikan apa yang dikehendakinya, bila ia menginginkan demikian. Setiap masalah mempunyai arti yang sangat penting baginya. Ia menjadi tak sabar bila orang lain tidak mau “bekerja sama” dengannya. Ia akan memakai berbagai taktik seperti mengejek, marah, bersikeras dan sebagainya, agar orang mau berpihak kepadanya. Pada hakikatnya Wini memaksa orang lain agar setuju dengannya, karena ia tidak mengetahui cara orang lain untuk berkomunikasi dengan mereka.
Cara terbaik untuk menghadapi Wini adalah menunjukkan kepadanya bahwa dua orang dapat menyumbangkan pikiran dan tenaga lebih banyak dari pada satu orang. Kita hindari perselisihan terbuka dengannya. Jangan sampai membuatnya terdesak atau kehilangan muka, bila bersikeras untuk memaksa, tanggapi dengan pasif sehingga ia menjadi jemu sendiri. Dengan cara yang tidak menyolok, catatlah hal-hal baik yang diusulkannya, demikian pula titik-titik kelemahan usulnya, sehingga kita terpaksa menolaknya. Jangan memberikan alasan yang panjang lebar kepadanya. Kita katakan bahwa kita telah memahaminya dan iapun boleh bertanya apa saja untuk membuktikan bahwa kita telah memahaminya. Kuncinya adalah bersikap tenang, tetap pada pendirian dan bersikap mendukung walaupun kita menolaknya.

Menyerah pada Situasi

Mimi selalu setuju dengan usul apapun, karena merasa takut ditolak ia akan mengatakan apa yang diduga ingin di dengar orang lain. Ia tidak berani mengungkapkan pendapat yang berlawanan, karena takut terjadi konflik. Sayang sekali, ia tidak dapat menguasai lidahnya. Ia mudah berjanji, menyetujui banyak usul dan memaksakan dirinya untukmelakukan hal-hal yang tidak dapat dijaminnya. Adakalanya ia meraka kurang enak dengan sekian banyak janji yang telah dibuatnya.
Mimi perlu dorongan agar bersikap lebih jujur. Sebaliknya kita tidak mudah menerima perkataan “ya” darinya. Diusahakan agar ia menjelaskan gagasannya, terutama gagasan yang berbeda dari pendapat orang lain, minta kepadanya agar ia memberikan penilaian atas usul-usul yang sedang diajukan, jangan membiarkannya tidak memberikan tanggapan. Kemudian kemukakan rasa kagum terhadap sikap keterbukaan dan masukkannya yang baik. Bila ia membuat suatu komitmen, sepakati suatu jadwal waktu dan perincian tentang apa yang telah disepakati, hargai pikiran dan tindakannya yang mandiri dan usahakan agar komitmen tersebut tetap dilaksanakannya dan jangan merasa terikat dengan sikapnya yang ramah tamah.


PRAKTIS DAN ROMANTIS

Praktis

Utami merasa bangga akan dirinya karena bersifat praktis. Ia perlu mengetahui hasil dan imbalan dari suatu tindakan, sebelum berjanji akan melakukannya ia akan mengandalkan impuls yang timbul dan mempertimbangkan segala sesuatunya berulang kali. Secara sadar ia mengesampingkan perasaannya, karena ia selalu menganalisis situasi untuk memperkirakan hasilnya. Utami tidak memperoleh kepuasan karena keterlibatan emosional semata-mata dan ia menilai hubungan antar sesama hanya dalam ukuran hasil yang dicapai. Yang utama baginya ia menghindari dirinya disakiti atau dikecewakan.
Agak sukar berhadapan dengan Utami, karena ia tidak mudah dipercaya. Harus kita sadari bahwa ia sangat peka dan kita mesti bersikap benar-benar dapat dipercaya terhadapnya. Mengubah rencana yang telah kita kemukakan atau membatalkan suatu komitmen membuatnya semakin tegas melindungi dirinya terhadap ketidaktegasan orang lain.

Romantis

Karlina juga terus-menerus dikecewakan orang, akan tetapi ia mudah sekali tertarik pada orang lain dan menganggap semua hal yang baru dan menarik sebagai “penemuan” yang paling hebat dalam hidupnya. Ia sangat dipengaruhi oleh perasaannya sendiri, sehingga hanya melihat hal-hal yang baik pada diri orang lain. Dan ia tidak mau mengakui adanya ketegangan dalam hubungan dengan orang lain. Karlina seorang yang sabar, ramah dan tidak pernah mengingkari janjinya. Walaupun diperlakukan kurang baik ia tetap siap sedia untuk menghadapi perlakuan selanjutnya.
Karlina juga terkadang sulit dimengerti perilakunya, bila tertarik pada kita, jangan biarkan ia menderita untuk kita, jangan manfaatkan kesediannya. Bila kita merasa segan karena tidak tertarik kepadanya seperti ia tertarik pada kita, sebaiknya katakan hal itu padanya, agar ia mengetahui perasaan kita dan bahwa kita merasa perlu mendiskusikan batas-batas hubungan kita dengannya.


SUKA MENYERANG DAN MENUTUP DIRI

Suka Menyerang

Dian sering melampiaskan kemarahannya terhadap orang lain, bila dengan bersungut-sungut orang lain tidakmerasa diserang, maka ia akan mengusahakan taktik lain. Kata-katanya yang tajam sering menyakitkan dan membuat orang bingung. Adakalanya serangan langsung yang dilontarkannya mencapai sasaran tertentu dan adakalanya pula tampaknya ia ingin menyerang setiap orang. Jarang sekali ia membicarakan kebaikan orang lain, ia sangat peka terhadap kekurangan orang lain dan membicarakannya kepada siapa saja yang mau mendengarkannya, ia selalu mengajak orang bertengkar dan tampaknya sering marah-marah sehingga tidak memberi kesempatan untuk hal lain, orang biasanya merasa tidak tentram bila bersamanya.
Bila Dian ingin mengintimidadi kita, kita jangan menjadi orang yang mudah dipengaruhinya, ia harus dihadapi dengan ketenangan, penuh sopan santun, keberanian dan ketegasan. Kita tunjukkan rasa simpati terhadap perasaan-perasaannya yang kurang menyenangkan, tanpa menyalahkan diri kita atau orang lain, tanggapi keluhan-keluhannya, kemudian desak agar ia mau mendiskusikan penyelesaiannya, tidak perlu mendengarkan keluhan tentang perilaku orang lain, sebaiknya kita hanya mendengarkan keluhannya tentang masalah tertentu.
Bila Dian menetang pendapat kita, tidak perlu membalasnya, tetapi katakan secara pribadi bahwa kita tidak menyenangi perilakunya tersebut. Adakalanya kita dapat mengatakan kepada orang seperti Dian : “kata-kata anda tampaknya menyakiti hati saya”.

Suka Menutupi Diri

               Sebaliknya Arlin suka menutup diri, menyimpan perasaannya sendiri dan tidak mau mengungkapkan pikirannya kepada orang lain. Orang tidak dapat memahaminya ; karena batas-batas pertahannya sukar ditembus. Adakalanya ia tampak malu-malu dan segan mendekati orang dan adakalanya ia membisu karena marah.
Ia tidak mau membicarakan apa saja, tidak mau melibatkan diri dan seringkali sampai menjengkelkan orang lain, ia jarang sekali meminta sesuatu dan tampaknya hampir selalu diam tidak responsif.
Adakalanya orang seperti Arlin memerlukan dorongan untuk berbicara, teristimewa bila perasaan segan terhadap lingkungannya sangat tinggi. Kita usahakan untuk menampilkan kehadirannya dengan menanyakan pendapat dan pandangannya, kita tunggu dengan sabar suaru dan pendapatnya, pancinglah dengan persoalan-persoalan sederhana sampai menengah.
Adakalanya orang seperti Arlin bukan takut untuk bicara, tapi sebagai taktik, dia dapat membungkam dalam suatu kelompok sampai kelompok tersebut menaruh perhatian terhadapnya, bila demikian halnya kita usahakan agar kelompok tersebut tidak memberikan perhatian kepadanya.



PERASA DAN SIKAP ACUH

Perasa

Rudi sangat peka menghadapi kesulitannya sendiri dan orang lain. Ia cepat terbawa perasaan negatif, selalu merasa cemas dan sangat mudah terpengaruh oleh rasa bersalah dan malu. Adakalanya ia merasa seakan-akan beban seisi dunia menimpanya dan menganggap dirinya bertanggung jawab untuk memperbaiki hal-hal yang menurut pendapatnya salah.
Sebaiknya kita mengabaikan kesedihannya bila berada dalam kelompok, jika kita menanggapi perilaku demikian dengan penuh perhatian, ia akan terus bersikap demikian, kita berikan tanggapan positif, hanya bila berdua dengannya.

Sikap Acuh

Sebaliknya Farida mengesampingkan semua perasaan yang kurang baik (bersalah), tidak mau memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk merasa sedih atau sakit dan selalu memandang persoalan dari sisi yang positif, ia dapat mengobrol tanpa henti-hentinya dan berprilaku dramatis dan penuh semangat. Farida tidak dapat memandang wajah yang muram dan menekankan agar setiap orang selalu gembira. Ia tidak bersedia memberikan perhatian pada hal-hal berat, menutup dirinya terhadap persoalan dan tidak mau mengatasi persoalan tersebut, biasanya orang menyukai Farida karena ia pandai menyemarakkan suasana.


SUKA MENGURUS DAN TERGANTUNG

Suka Mengurus

Butet selalu mengurus sesuatu untuk orang lain, ia melihat banyak orang di sekitarnya sebagai tidak berdaya dan memerlukan perhatian dan bantuannya, ia menggunakan siasat pemberian santunan dan bantuan untuk menarik orang ke pihaknya, ia berusaha menjadikan dirinya demikian diperlukan dan menentukan, sehingga orang tidak dapat membayangkanbagaimana keadaan mereka tanpa kehadiran Butet. Dengan senang hati ia membantu orang lain, melindungi mereka serta mengarahkan hidup mereka, akan tetapi tidak semua kebaikannya itu cuma-cuma dan tanpa pamrih, yang jelas ia akan berusaha agar orang lain sangat tergantung kepadanya.
Pada hakekatnya orang akan sangat mudah memanfaatkan perilaku Butet, keinginannya untuk mengurus orang lain menjadikannya cendrung memenuhi hampir semua permintaan, akan tetapi kita perlu sangat berhati-hati dengannya, karena bila tidak demikian ia dapat merasa seakan-akan memiliki kita. Kita harus berusaha agar ada hubungan timbal balik dalam pergaulan dengannya, misalnya bila ia mentraktir kita pada kesempatan yang lalu, hendaknya kali ini kita yang mentraktirnya, segala budi baiknya hendaklah dibalas dengan seksama. Dalam kelompok sebaiknya kita tidak membiarkan ia bekerja keras sendiri, sekali-kali kita berikan kepadanya kejutan atau jasa baik yang tidak diharapakannya.

Suka Tergantung

Sebaliknya Tari adalah seorang yang selalu tergantung pada orang lain, bila menghadapi masalah ia langsung bertanya : “siapa yang dapat menolong saya untuk menyelesaikan masalah ini ?” , ia sangat berbakat untuk mengajak orang lain membantunya dengan bersikap seolah-olah ia tidak berdaya, ia membutuhkan bantuan orang lain dan serba kekurangan. Adakalanya ia menonjolkan kekurangannya sendiri untuk meyakinkan orang lain tentang kebutuhannya itu. Tari tidak memiliki kepribadian yang teguh dan merasa bahwa hidupnya akan kacau balau, bila tidak ada orang lain yang dapat dijadikannya pegangan. Saat ia menemui kesulitan untuk menemukan seseorang yang dapat bersamanya, maka ia akan mengeluh tentang kesepiannya, kesedihannya.

ANDROLOGI =SEBUAH KONSEP TEOROTIK

· Posted in ,


ANDRAGOGI

(Sebuah Konsep Teoritik)

A.     Pengertian

Andragogi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni Andra berarti orang dewasa dan agogos berarti memimpin. Perdefinisi andragogi kemudian dirumuskan sebagau “Suatu seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar”. Kata andragogi pertama kali digunakan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan dan merumuskan konsep-konsep dasar teori pendidikan Plato. Meskipun demikian, Kapp tetap membedakan antara pengertian “Social-pedagogy” yang menyiratkan arti pendidikan orang dewasa, dengan andragogi. Dalam rumusan Kapp, “Social-pedagogy” lebih merupakan proses pendidikan pemulihan (remedial) bagi orang dewasa yang cacat. Adapun andragogi, justru lebih merupakan proses pendidikan bagi seluruh orang dewasa, cacat atau tidak cacat secara berkelanjutan.

 B.     Andragogi dan Pedagogi

Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah “pedagogi” yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai “suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak”. Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai “ilmu dan seni mengajar”.

Untuk memahami perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :

 1.      Citra Diri

Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.

2.      Pengalaman

Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.

3.      Kesiapan Belajar

Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.

4.      Nirwana Waktu dan Arah Belajar

Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan “dimana kita sekarang” dan “kemana kita akan pergi”, itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti “memecahkan masalah hari ini”, sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.

C.     Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi

Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan tujuh proses sebagai berikut :

1.        Menciptakan iklim untuk belajar
2.        Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu
3.        Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai
4.        Merumuskan tujuan belajar
5.        Merancang kegiatan belajar
6.        Melaksanakan kegiatan belajar
7.        Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai.

Andragogi dapat disimpulkan sebagai :

1.    Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman
2.    Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu
3.    Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, dimana kira secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah.
D.    Prinsip-prinsip Belajar untuk Orang Dewasa

1.    Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan
2.    Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari.
3.    Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis
4.    Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik
5.    Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup
6.    Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar
7.    Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar.
E.     Karakteristik Warga Belajar Dewasa

1.    Orang dewasa mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda
2.    Orang dewasa yang miskin mempunyai tendensi, merasa bahwa dia tidak dapat menentukan kehidupannya sendiri.
3.    Orang dewasa lebih suka menerima saran-saran dari pada digurui
4.    Orang dewasa lebih memberi perhatian pada hal-hal yang menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannya
5.    Orang dewasa lebih suka dihargai dari pada diberi hukuman atau disalahkan
6.    Orang dewasa yang pernah mengalami putus sekolah, mempunyai kecendrungan untuk menilai lebih rendah kemampuan belajarnya
7.    Apa yang biasa dilakukan orang dewasa, menunjukkan tahap pemahamannya
8.    Orang dewasa secara sengaja mengulang hal yang sama
9.    Orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan iktikad yang baik, adil dan masuk akal
10.  Orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya. Oleh karena itu ia lebih suka melakukan sendiri sebanyak mungkin
11.  Orang dewasa menyenangi hal-hal yang praktis
12.  Orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat akrab dan menjalon hubungan dekat dengan teman baru.
F.      Karakteristik Pengajar Orang Dewasa

Seorang pengajar orang dewasa haruslah memenuhi persyaratan berikut :

1.    Menjadi anggota dari kelompok yang diajar
2.    Mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar
3.    Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme untuk kerjanya
4.    Menirukan/mempelajari kemampuan orang lain
5.    Menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, kekuatannya dan tahu bahwa di antara kekuatan yang dimiliki dapat menjadi kelemahan pada situasi tertentu.
6.    Dapat melihat permasalahan dan menentukan pemecahannya
7.    Peka dan mengerti perasaan orang lain, lewat pengamatan
8.    Mengetahui bagaimana meyakinkan dan memperlakukan orang
9.    Selalu optimis dan mempunyai iktikad baik terhadap orang
10.  Menyadari bahwa “perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar”
11.  Menyadari bahwa segala sesuatu mempunyai segi negatif dan positif.

PSIKILOGI PENDIDIKAN


PSIKOLOGI PENDIDIKAN

 

A.     Pendahuluan

Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.

B.     Mendorong Tindakan Belajar

             Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan  informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1.   Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2.   Faktor Psikologis
     Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar      
     jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara
     terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1.   Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2.  Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3.  Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima  kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.
2.4.  Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5.  Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

PERPUSTAKAANKU. Diberdayakan oleh Blogger.