PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PISAH HARTA

Senin, 11 Februari 2013 · Posted in ,



1. Pada dasarnya, perjanjian perkawinan secara tertulis diletakkan dalam suatu akta notaris dan diadakan sebelum pernikahan berlangsung (Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, kedua belah pihak diberikan hak seluas-luasnya selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan (Pasal 29 ayat [2] UU Perkawinan).
 
Dalam hal Anda memperjanjikan bahwa rumah yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bersama, hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan karena pada dasarnya kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk membuat isi dan bentuk perjanjian perkawinan.
 
2. Mengenai pembuatan perjanjian harta terpisah, karena Anda mengatakan bahwa “akan mencatatkan perkawinan kami di kantor catatan sipil”, kami berasumsi bahwa Anda telah menikah secara agama, tetapi belum mencatatkannya di kantor catatan sipil. Dalam hal Anda belum mencatatkan perkawinan Anda di kantor catatan sipil, maka secara hukum negara, perkawinan Anda belum diakui.
 
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan agar berlaku bagi pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, perjanjian tersebut tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung. Ini berarti, selama Anda belum mencatatkan perkawinan Anda di kantor catatan sipil, yang berarti perkawinan Anda belum diakui secara hukum negara, Anda dapat membuat perjanjian perkawinan pisah harta atas harta yang didapat setelah perkawinan.
 
Pasal 29 UU Perkawinan
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
 

PERPUSTAKAANKU. Diberdayakan oleh Blogger.