1.
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan secara tertulis diletakkan dalam
suatu akta notaris dan diadakan sebelum pernikahan berlangsung (Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, kedua belah pihak
diberikan hak seluas-luasnya selama tidak melanggar batas-batas hukum,
agama, dan kesusilaan (Pasal 29 ayat [2] UU Perkawinan).
Dalam
hal Anda memperjanjikan bahwa rumah yang diperoleh sebelum perkawinan
menjadi harta bersama, hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan karena
pada dasarnya kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk membuat isi
dan bentuk perjanjian perkawinan.
2.
Mengenai pembuatan perjanjian harta terpisah, karena Anda mengatakan
bahwa “akan mencatatkan perkawinan kami di kantor catatan sipil”, kami
berasumsi bahwa Anda telah menikah secara agama, tetapi belum
mencatatkannya di kantor catatan sipil. Dalam hal Anda belum mencatatkan
perkawinan Anda di kantor catatan sipil, maka secara hukum negara,
perkawinan Anda belum diakui.
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan agar berlaku bagi pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, perjanjian tersebut tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung. Ini
berarti, selama Anda belum mencatatkan perkawinan Anda di kantor
catatan sipil, yang berarti perkawinan Anda belum diakui secara hukum
negara, Anda dapat membuat perjanjian perkawinan pisah harta atas harta
yang didapat setelah perkawinan.
Pasal 29 UU Perkawinan
(1) Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan
tidak merugikan pihak ketiga.
Posting Komentar