Archive for 01/26/13

NAFKAH BAGI MATAN ISTRI MENURUT HUKUM SIPIL DAN HUKUM ISLAM

Sabtu, 26 Januari 2013 · Posted in , ,

Sebuah perceraian memiliki akibat hukum untuk suami, istri maupun anak dalam perkawinan tersebut.

Bagi seorang istri yang tidak bekerja, dan kehidupannya bergantung dari suaminya perceraian tentunya akan memberatkan apalagi aturan dalam Undang- undang nomor 1 tahun 1974 pasal 41 (c) berbunyi Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri, yang berarti tidak memberikan sebuah keharusan bagi mantan suami untuk memberikan nafkah bagi mantan istrinya,

Peraturan Pemerintah No. 10 Thn. 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri sipil mengatur bahwa nafkah untuk mantan istri diberikan sampai dengan mantan istri menikah lagi, dengan catatan apabila perceraian tersebut adalah atas kehendak suami yang seorang Pegawai Negeri Sipil,

sedangkan Kompilasi hukum Islam memberikan batasan waktu terhadap nafkah bagi mantan istri samapai dengan masa iddahnya selesai. Dapat diartikan perundangan yang ada tidak memiliki kesepahaman tentang nafkah untuk mantan istri dan juga batasan terhadap batas waktu pemberian nafkah. Hak nafkah untuk anak akan berlangsung terus sampai anak itu menikah, telah bekerja atau bisa menghidupi dirinya sendiri. Dalam perceraian, apabila anak berada dalam pengasuhan ibunya, biasanya pengadilan akan mewajibkan ayah untuk memberikan tunjangan tiap bulannya untuk biaya pendidikan dan penghidupan anak tersebut.

PERSYARATAN PENGAJUAN CERAI

· Posted in , ,

I.Persiapan dan Persyaratan Mengajukan Gugatan Cerai

Bagi seseorang yang ingin mengajukan gugatan cerai persiapan dan persyaratannya adalah :

Mengumpulkan bukti-bukti perkawinan, seperti:
Buku nikah/Akta perkawinan;
Akta kelahiran anak-anak (jika punya anak);
Kartu Tanda Penduduk (KTP);
Kartu Keluarga (KK);
Bukti-bukti kepemilikan aset (rumah/mobil/buku tabungan).
Membuat gugatan cerai;
Mendaftarkan gugatan cerai di pengadilan berwenang;
Menunggu penerimaan surat panggilan sidang dari pengadilan;
Menghadiri persidangan;
Mempersiapkan saksi minimal dua orang.


II.Kronologis Persidangan di Pengadilan Agama


Perlu diketahui bahwa untuk yang beragama Islam (nikah secara muslim) jika ingin bercerai maka gugatan cerainya diajukan di Pengadilan Agama, sementara bagi yang non-muslim jika ingin bercerai diajukannya di Pengadilan Negeri. Adapun urut-urutan sidang perceraian di Pengadilan Agama adalah :
Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
Mediasi ke-2;
Sidang hasil mediasi
Sidang jawaban;
Sidang replik;
Sidang duplik;
Sidang pembuktian dari penggugat;
Sidang pembuktian dari tergugat;
Sidang kesimpulan; dan
Sidang putusan.
Pembacaan ikrar talaq (jika yang ajukan gugatan cerai adalah suami).

III.Kronologis Persidangan di Pengadilan Negeri

Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
Mediasi ke-2.
Sidang hasil mediasi;
Sidang jawaban;
Sidang replik;
Sidang duplik;
Sidang pembuktian dari penggugat;
Sidang pembuktian dari tergugat;
Sidang kesimpulan;
Sidang putusan.

HUKUM GUGAT CERAI

· Posted in ,

Hukum Gugat Cerai

Tanya:
saya ingin menanyakan mengenai persoalan gugat cerai yang menjadi tren saat ini. Saya baca di koran bahwa perceraian di Indonesia tertinggi di dunia. Menurut Nazarudin Umar, gugat cerai sekitar 80% [dari jumlah kasus perceraian]. Ini sudah kebablasan. Faktor penyebab utama adalah pengaruh selebriti yang gonta-ganti pasangan (infotainment), KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), masalah ekonomi, tidak cinta lagi, dan sebagainya.

Pertanyaan: bagaimana hukumnya gugat cerai yang tren saat ini yang kadang kala alasan gugat cerai bukan hal yang mendasar dalam syariat? Bagaimana bila si istri dengan sabar karena Allah (ibadah) mempertahankan rumah tangga meskipun ada rintangan/soalan dalam rumah tangga, apakah ini ajuran agama atau bukan? Mohon dengan sangat penjelasannya. Terima kasih.

Jawab:

Angka 80% sebagaimana dikutip penanya dan pertanyaan yang diajukan sehubungan hukum gugat cerai kelihatannya merujuk pada kasus gugat cerai istri pada suami. Penyebab tingginya angka tersebut sudah disebutkan.

Gugat Cerai oleh Suami

Dalam hukum perkawinan Islam, suami memiliki wewenang untuk menceraikan istrinya dengan syarat-syarat tertentu, misalnya istri tidak dalam keadaan haidh. Bila suami sudah mengucapkan sighat (lafad) talak, maka berakhirlah ikatan perkawinan antara keduanya, meskipun kasus tersebut tidak diajukan kepada pengadilan (Hakim). Suami juga boleh mewakilkan sighat talaknya kepada pihak lain yang dikehendakinya, seperti Hakim, tokoh agama, dan lain-lain.

Gugat Cerai oleh Istri

Dalam kondisi tertentu, istri diperbolehkan mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya. Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. Fasakh

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suami istri); atau
adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.

Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Penceraian semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah. Jamilah binti Sahal, istri dari Tsabit bin Qais, merupakan wanita pertama yang melakukan khulu’ dalam Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الإسْلامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً.

“Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang menemui Rasulullah SAW dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak maupun agamanya. Hanya saja aku khawatir akan terjerumus ke dalam kekufuran setelah (memeluk) Islam (karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”. Rasulullah bersabda:” Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu? Wanita itu menjawab: “Saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada suaminya: “Ambilah kebun itu dan ceraikan istrimu”. (HR.Bukhari)

Dalam surat al-Baqarah Allah berfirman:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

” …Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…. “(QS Al-Baqarah[2]:229)

Berdasarkan hadits dan ayat di atas, para ulama seperti Ibnu hajar al-’Asqalaniy dan ath-Thibiy mengaitkan pembolehan khulu’ dengan:

adanya kekhawatiran istri akan ketidakmampuannya menjalankan kewajiban sebagai istri bila terus tinggal bersama suami yang tidak dicintainya bahkan yang dibencinya;
timbulnya rasa tidak suka terhadap suami disebabkan oleh kekurangan fisiknya atau keburukan akhlaknya;
adanya kekhawatiran istri bahwa perubahan perasaannya terhadap suami akan menjerumuskannya ke dalam dosa dan fitnah, seperti membuatnya bersikap kasar, membangkang, serta tindakan-tindakan lain yang dapat melukai dan menyakiti hati suaminya.

Imam Malik bahkan membolehkan khulu’ dalam kondisi istri tidak dapat mencintai dan melayani suaminya disebabkan kekurangan fisiknya, minimnya ilmu agamanya, kelalaiannya menjalankan perintah agama, kelanjutan usianya ataupun kondisinya yang lemah dan dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai suami, sehingga menelantarkan hak-hak istri.

Besarnya ‘iwadh (kompensasi) yang diberikan istri kepada suami tergantung kesepakatan mereka dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepada istri. Berbeda dengan fasakh, dalam kasus khulu’ ini yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafadh talak adalah suami, baik dengan sepengetahuan Hakim ataupun tidak.

Efek Hukum Fasakh dan Khulu’

Efek hukum yang ditimbulkan fasakh dan khulu’ adalah talak ba-in sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.

Bersabar dan Memperbaiki Diri

Fasakh dan khulu’ tanpa alasan yang dibolehkan syara’, ditempuh sebagai legitimasi untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama, seperti untuk mendapatkan kebebasan, adalah hal yang dilarang dan pelakunya akan menerima laknat Allah SWT. Nabi bersabda:




عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Dari Tsauban r.a. ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang menuntut cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang mendesak, maka diharamkan baginya (mencium harumnya) bau syurga”. (HR. Abu Daud)

Jumhur ulama juga melarang khulu’ ketika rumah tangga dalam kondisi stabil, adanya hubungan baik antara suami istri, serta tidak adanya hal-hal yang mendesak terjadinya perceraian. Khulu’ dalam kondisi ini akan menghancurkan tujuan dan maslahat dari perkawinan itu sendiri.

Jika suami sangat mencintai istrinya dan menolak khulu’ maka dianjurkan bagi istri untuk bersabar dan tetap tinggal bersamanya. Mudah-mudahan perasaannya terhadap suaminya dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu. (Lihat kitab Kasysyaf al-Qina’.)

Menghancurkan perkawinan memang lebih mudah daripada menjaganya, dan dampak yang ditimbulkannya sangat merugikan kedua belah pihak. Perceraian adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah. Bersabar merupakan jalan terbaik yang dapat ditempuh oleh istri dalam menghadapi segala cobaan yang menimpa kehidupan rumah tangganya. Kesabaran dan saling pengertian adalah kunci kesuksesan yang akan berbuah kebahagian dan kesenangan. Allah akan selalu berada di sisi orang-orang yang sabar. Innallaha ma’a ash-shabirin. Pada saat bersamaan, suami juga hendaknya memperbaiki dirinya agar kesabaran istri mudah diwujudkan dan rumah tangga harmonis kembali terbina. Wallahu Ta’ala a’lam.

PERPUSTAKAANKU. Diberdayakan oleh Blogger.