Pertanyaan: 1. Bagaimanakah pandangan hukum negara bila suami tidak
memberikan nafkah selama 8 tahun dalam 12 tahun usia pernikahan? Apakah
saya berhak menggugat cerai? 2. Bagaimana tentang hak asuh anak? 3.
Apakah rumah tersebut termasuk harta gono gini? Apakah saya berhak
menjualnya sebelum menggugat cerai?
Terhadap pertanyaan tentang permasalahan rumah tangga di atas, maka dapat saya jawab sebagai berikut :
1. Tentang kewajiban memberikan nafkah, maka terdapat beberapa aturan yang mengatur sebagai berikut :
- Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan,
“Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”;
- Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menyatakan,
“Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.”;
Berdasarkan
ketentuan di atas, maka jelas seorang suami wajib memberikan nafkah
kepada istrinya. Bahkan, lebih lanjut diatur bahwa setiap orang (tidak
hanya suami) tidak boleh menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya.
Terhadap
pertanyaan apakah dapat diajukan gugatan perceraian terhadap suami
dengan kasus seperti disebutkan di atas, secara hukum maka hal tersebut
dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan yang menyatakan,
“Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.”;
Namun, seyogyanya Ibu mempertimbangkan masalah ini dengan mendalam, mengingat sebagai seorang Kristen, maka perceraian sama sekali tidak dibenarkan;
2. Perihal hak asuh anak, maka berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan dinyatakan,
“Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.”
Berdasarkan
ketentuan di atas, maka jelaslah bahwa orang tua bertanggung jawab
terus terhadap anak dari perkawinan mereka sekalipun perkawinan tersebut
telah putus. Perihal siapa yang berhak mengasuh, maka berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1968 dalam perkara: Tjiioe Tiang Hin melawan Kwee Poey Tjoe Nio, dinyatakan,
“Dalam hal terjadi perceraian, anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibu, perwaliannya patut diserahkan kepada ibunya.”
3. Perihal rumah yang dibelikan oleh orang tua Ibu setelah Ibu menikah, maka rumah tersebut secara hukum merupakan hadiah dari orang tua, oleh karenanya adalah merupakan milik Ibu dan bukan termasuk dalam Harta Bersama (gono-gini). Oleh karenanya, apabila Ibu hendak mengalihkan kepemilikannya/menjual rumah tersebut, maka Ibu dapat menjualnya kapanpun;
Hal ini sebagaimana diatur dalam: Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan,
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” ;
Dan Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan,
“Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.”
Posting Komentar