Hukum karma dipahami sebagai suatu akibat menyeluruh dari seluruh dan perbuatan seseorang yang dilakukan selama hidupnya, yang mana hasil dari perbuatannya tersebut akan menentukan nasib dirinya khususnya dalam inkarnasi pada kehidupan seseorang di masa mendatang. Mungkin itu sebabnya selaku orang Kristen jarang mengulas hukum “tabur-tuai” karena dengan tegas iman Kristen menyatakan bahwa tidak ada inkarnasi pada masa mendatang setelah seseorang meninggal. Dalam konteks ini iman Kristen memang tidak sejalan dengan ajaran agama Hindu atau Budha soal kehidupan di masa mendatang. Sebab dalam iman Kristen setelah kematian, seseorang tidak mengalami inkarnasi (kelahiran kembali) lagi, tetapi dia harus mempertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Allah atas apa yang telah dia lakukan dan imani sepanjang dia hidup. Sebaliknya agama Hindu atau Budha umumnya berpikir secara siklis, yang mana kehidupan seseorang di masa kini menentukan kualitas inkarnasinya di masa mendatang. Tetapi bagaimana sikap iman Kristen dan sikap agama Hindu atau agama-agama lain dengan hukum “apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai”? Sesungguhnya hukum “tabur-tuai” merupakan hukum yang telah dikenal secara umum dan alamiah dalam kehidupan ini. Lima puluh tahun sebelum Kristus lahir, seorang filsuf bangsa Romawi yaitu Marcus T. Cicero, berkata, “As you have sown so shall you reap” (sebagaimana kamu telah menabur, demikian pula kamu akan menuainya). Alam juga mengajarkan hal yang sama. Kita hanya menuai buah mangga ketika kita menabur benih atau biji buah mangga, dan tidak mungkin kita menuai buah yang lain.
Hukum Tabur-Tuai Di Alkitab
Manakala kita memperhatikan dengan cermat beberapa bagian dari ayat-ayat Alkitab, kita juga menjumpai ide yang hampir senada. Di II Kor. 9:6 rasul Paulus berkata: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga”. Dalam hal ini rasul Paulus menempatkan hukum “tabur-tuai” dalam konteks bagaimana jemaat Makedonia yang tetap menunjukkan kemurahan hati dan kasih mereka walaupun mereka saat itu sedang menghadapi kekurangan dan kemiskinan. Atas dasar itu rasul Paulus mengharapkan pula kemurahan hati jemaat di Korintus untuk ambil bagian secara tulus dalam pekerjaan Tuhan. Juga di Gal. 6:7 rasul Paulus berkata: “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu”. Di surat Galatia ini, rasul Paulus dengan tegas menyatakan bahwa Allah akan menghukum setiap orang menurut tindakan atau perbuatannya. Apabila orang tersebut menabur dalam hidup ini berbagai hawa-nafsu dan keinginan duniawi, maka dia juga akan menuai kebinasaan; sebaliknya apabila seseorang menabur dalam keinginan Roh, maka dia akan menuai hidup yang kekal. Dari ayat-ayat Alkitab tersebut sangat jelas bahwa hukum “tabur-tuai” bukanlah konsep Hinduisme atau suatu agama tertentu. Tetapi konsep hukum “tabur-tuai” sebenarnya juga telah diberlakukan dalam Alkitab sejak awal. Bahkan Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang cemburu, sehingga Dia akan menghukum setiap orang yang beribadah atau menyembah kepada illah lain. Perhatikan Kel. 20:5-6, Allah berfirman: “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku”. Yahweh yang penuh anugerah dan kasih itu juga Allah yang dapat membalas kesalahan dan dosa kepada umatNya dengan hukuman yang begitu berat apabila mereka menyimpang dari kehendakNya.
Kecenderungan umat Kristen adalah terlalu sering hanya menekankan segi kerahiman Allah, yaitu kasih-karunia dan anugerah pengampunanNya, sehingga kita kurang memberikan tempat yang proporsional kepada pembalasan atau hukuman Allah yang lahir dari keadilanNya. Itu sebabnya kita hanya mengedepankan anugerah Allah yang begitu agung sehingga Dia bersedia membenarkan umat yang berdosa karena iman kepada Kristus. Tetapi pada sisi lain kita masih kurang memperhatikan segi tanggungjawab manusia dalam menyikapi anugerah pengampunan yang dikaruniakan di dalam iman kepada Kristus. Karena kita terlalu menekankan anugerah Allah yang begitu agung dengan mengabaikan keadilan dan kekudusanNya, maka tidak mengherankan jikalau banyak orang Kristen kemudian menempatkan makna anugerah Allah tersebut menjadi anugerah yang murah (the cheap grace). Akibatnya mereka kurang menunjukkan sikap tanggungjawab yang optimal dan serius terhadap anugerah Allah yang telah berkenan membenarkan mereka dalam iman kepada Kristus. Fenomena ini menunjukkan telah terjadi suatu kesalahpahaman yang sangat besar terhadap makna anugerah pengampunan Allah di dalam Kristus. Anugerah Allah justru dipertentangkan dengan tanggungjawab perbuatan manusia. Padahal seharusnya makna anugerah Allah menjadi nyata dan efektif ketika diwujudkan tanggungjawab perbuatan; dan pada pihak lain tanggungawab perbuatan menjadi berarti dan benar di hadapan Allah ketika didasari oleh kuasa anugerah Allah yang menyelamatkan. Sehingga sangatlah tepat ketika rasul Yakobus berkata: “Sebab sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak. 2:26).
Hukum Tabur-Tuai Sebagai Sikap Etis Tanggungjawab Manusia
Hukum “tabur-tuai” menjadi tidak Alkitabiah atau bertentangan dengan iman Kristen ketika hukum “tabur-tuai” dihayati sebagai jalan keselamatan untuk memperoleh hidup yang kekal. Dengan pemahaman tersebut orang-orang akan berlomba-lomba untuk menabur berbagai perbuatan baik, kebajikan, amal, ibadah dan berbagai hal yang mulia dengan tujuan untuk memperoleh pahala atau dapat menuai keselamatan dari Allah. Makna perbuatan baik (menabur hal-hal yang baik) pada akhirnya hanya dijadikan oleh manusia sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan (menuai hal-hal yang baik) bagi kepentingan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang melakukan perbuatan baik atau menabur yang baik karena dia takut menerima atau menuai karma yang buruk. Itu sebabnya mereka mencoba dan berjuang untuk mengumpulkan berbagai perbuatan baik sebagai pahala agar mereka dapat berkenan di hadapan Allah. Namun satu hal yang sangat prinsip sering dilupakan oleh manusia, yaitu bahwa hakikat dan kodrat manusia telah jatuh di bawah kuasa dosa. Sehingga manusia di hadapan Allah pada hakikatnya tidak mampu berbuat benar, walaupun mungkin dia mampu berbuat baik atau melakukan banyak amal di hadapan sesamanya. Dengan perkataan lain, dalam iman Kristen sebenarnya manusia tidak mungkin mampu menyelamatkan dirinya melalui perbuatan baik dan berbagai kebajikan yang dia lakukan. Status keberdosaan manusia telah menjadikan kita lumpuh, najis, dan tidak berdaya untuk berkenan di hadapan Allah. Itu sebabnya seluruh umat manusia membutuhkan Juru-selamat, yang telah hadir di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Melalui iman kepada Kristus, kita yang gagal, lemah, najis dan berdosa dibenarkan serta diampuni oleh Allah.
Jika demikian, bagaimanakah kita selaku orang percaya menyikapi hukum “tabur-tuai”? Sejauh hukum “tabur-tuai” dihayati sebagai bentuk tanggungjawab manusia beriman kepada anugerah pengampunan Allah yang menyelamatkan, sesungguhnya hukum “tabur-tuai” dapat memberikan landasan etis yang kokoh agar kita makin bijaksana dalam menyikapi makna dan tujuan kehidupan ini. Pepatah mengatakan: “Sow a thought you reap an act. Sow an act, you reap a habit. Sow a habit, you reap a character. Sow a character, you reap a consequence” (taburlah gagasan maka kamu akan menabur tindakan. Taburlah tindakan maka kamu akan menabur kebiasaan. Taburlah kebiasaan, maka kamu akan menabur karakter. Taburlah karakter maka kamu akan menabur nasib). Sesungguhnya dalam kehidupan ini kita seperti seorang yang sedang merajut serat-serat dari kabel-kabel kehidupan, sehingga ketika serat-serat dari kabel-kabel itu menjadi jalinan yang kokoh maka kita tidak mampu untuk memutuskannya. Itu sebabnya ketika “kabel-kabel keburukan” yang kita rajut menjadi semakin kuat, maka kita tidak akan mampu untuk memutuskan sampai akhir hayat hidup kita. Tetapi sebaliknya ketika kita merajut serat-serat dari “kabel-kabel kebenaran dan kebaikan” maka dalam kepribadian kita akan terbentuk suatu nilai diri yang mulia dan tidak mudah dipatahkan oleh lingkungan yang buruk dan tidak kondusif. Dengan demikian kualitas diri kita sebenarnya terbentuk dalam proses kehidupan yang sangat panjang, yaitu apakah kepribadian kita benar-benar terbentuk secara murni dari hukum “tabur-tuai” yang positif, ataukah hukum “tabur-tuai” yang buruk; atau mungkin campuran dari hukum “tabur-tuai” yang baik dan buruk. Realita hidup menunjukkan bahwa umat manusia hanya berada dalam kemungkinan hukum “tabur-tuai” yang buruk” dan hukum “tabur-tuai” campuran dari yang baik dan yang buruk. Sebab tidak ada seorangpun yang mampu berbuat baik dan benar sejak dia lahir sampai akhir hidupnya, kecuali satu pribadi bernama Yesus Kristus. Karena itu oleh malaikat Allah, Yesus disebut: “kudus, Anak Allah” (Luk. 1:35). Surat Ibrani juga menyatakan tentang diri Kristus, yaitu: “Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Sehingga dengan iman kepada Kristus, kita dilayakkan dan dibenarkan di hadapan Allah karena pengorbanan diriNya. Kita juga dikaruniakan oleh kuasa Roh Kudus untuk mematahkan serat-serat kuasa dosa yang telah melilit dan membelenggu kehidupan kita begitu kuat, sehingga kita dimampukan untuk hidup sebagai ciptaan baru, yaitu sebagai anak-anak Allah.
Hukum “Tabur-Tuai” Dalam Ciptaan Baru
Manakala kita hidup dalam prinsip hukum “tabur-tuai” menurut pola dan ukuran dari dunia ini, maka kehidupan kita saat ini hanya merupakan rangkaian pembalasan dari berbagai perbuatan buruk dan jahat dari nenek-moyang kita. Para leluhur kita sebagai manusia secara faktual teologis dan moral telah melakukan begitu banyak hal yang buruk, dan kita semua mewarisi pula berbagai sifat dan karakter yang buruk tersebut. Kemudian kita mewariskan DNA kita pula kepada anak-anak kita, lalu diwariskan pula kepada para cucu sampai kepada generasi mendatang. Dengan pola pewarisan sifat, karakter atau DNA manusia turun-temurun maka kehidupan manusia akan terus terjebak kepada hukuman dan pembalasan Allah yang tiada habis-habisnya. Siapakah di antara kita yang dapat mengklaim memiliki DNA yang baik dan unggul? Rasul Paulus berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom. 3:23). Apabila kehidupan ini hanya ditentukan oleh situasi keberdosaan manusia, maka kita semua dalam kehidupan saat ini dan selanjutnya hanya dapat memetik dan menuai hukuman/murka Allah. Dalam keadilan dan kekudusanNya, Allah akan memberi pembalasan dan hukuman terhadap segala hal yang telah dituai oleh umat manusia. Sebab semua orang telah gagal melakukan atau menabur apa yang baik dan benar serta berkenan di hadapan Allah; sehingga semua orang hanya menuai apa yang telah dia tabur.
Melalui berbagai agama, Allah berkenan menyatakan kehendak dan firmanNya agar manusia dapat melepaskan diri dari kuasa dosa. Namun firman Allah yang diwahyukan kepada agama-agama yang ada sepanjang zaman telah terbentur oleh tembok yang kokoh, yaitu suatu kenyataan teologis, yaitu bahwa semua manusia berada di bawah kuasa dosa; sehingga tidak ada seorangpun yang mampu melakukan firman Allah tersebut. Hidup manusia akan tetap berada dalam lingkaran hukum “tabur-tuai” yang mana manusia hanya menuai hal-hal yang buruk karena manusia selalu menabur hal-hal yang buruk dan jahat. Itu sebabnya Allah pada akhirnya memilih cara yang khusus dan unik, yaitu dengan mengaruniakan Kristus agar kita dibenarkan oleh kehidupan dan kematianNya. Surat Ibrani berkata: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan naabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibr. 1:1-2). Jadi dengan pengorbanan dan kematian Kristus di atas kayu salib, Allah secara definitif telah mematahkan “karma” dari hukum “tabur-tuai” agar manusia dapat hidup dalam damai-sejahtera dengan Allah dan dengan sesama serta dirinya. Melalui Kristus, Allah telah menyediakan keselamatan kepada setiap orang agar mereka dapat hidup sebagai ciptaan yang baru. Rasul Paulus berkata: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (II Kor. 5:17). Jadi iman kepada Kristus seharusnya ditandai oleh sikap pertobatan sebagai transformasi spiritualitas dan kehidupan yang baru. Transformasi spiritualitas hidup tersebut bagi orang yang percaya bukan hanya sebagai suatu kemungkinan tetapi diimani sebagai suatu jaminan, bahwa di dalam Kristus kita dimampukan untuk menjadi ciptaan baru.
Rahasia kekuatan dari transformasi spiritualitas ciptaan baru tersebut terletak pada realita teologis dan iman yaitu bahwa Kristus telah menebus kita dari cara hidup kita yang sia-sia yaitu cara hidup yang telah kita warisi dari nenek-moyang kita. Makna dari penebusan Kristus adalah bahwa Dia telah ditetapkan oleh Allah untuk menggantikan atau menebus segenap dosa termasuk pula dosa warisan yang tidak mampu kita pikul dengan kekuatan kita sendiri. Sehingga ketika kita ditebus oleh kematian Kristus, sesungguhnya segenap dosa warisan dari nenek-moyang kita telah dipatahkan oleh Kristus; sehingga dalam perjalanan hidup ke depan kita tidak lagi memikul beban dosa yang begitu berat. Itu sebabnya penulis surat Petrus berkata: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (I Petr. 1:18-19). Dengan demikian iman Kristen menempatkan pengorbanan dan kematian Kristus sebagai penentu keselamatan yang definitif bagi seluruh umat manusia. Sebab tanpa darah dan kematian Kristus, umat manusia akan tetap terus memikul segenap dosa warisan dari nenek-moyang mereka sehingga tidak tersedia kemungkinan bagi umat manusia untuk memperoleh keselamatan dari Allah.
Perspektif Yang Baru Dari “Hukum Tabur-Tuai”
Kristus adalah sumber dan kekuatan dari transformasi hidup, sehingga dengan hidup di dalam Kristus, kita dikaruniakan memiliki perspektif yang baru untuk menyikapi kehidupan ini secara lebih arif dan benar. Melalui kematianNya, kita telah dibebaskan dari kutuk dosa sehingga kita dipulihkan dan dijadikan sebagai anak-anak Allah. Anugerah keselamatan dari Allah ini menjadi titik balik yang menentukan sehingga kita tidak lagi menghabiskan enersi spiritualitas, akali-budi, dan kekuatan manusiawi yang ada untuk berdamai dan berkenan di hadapan Allah. Tetapi di dalam Kristus, kita dibimbing dan dimampukan oleh kuasa anugerah Allah untuk hidup yang baru. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9). Namun apakah setelah itu kita boleh menyerahkan segala kewajiban dan tanggungjawab etis kita kepada Kristus?
Pertanyaan tersebut perlu direnungkan secara mendalam dan serius, karena begitu banyak orang Kristen yang terlalu mudah berkata bahwa “Kristuslah yang akan menentukan kehidupan mereka” atau mereka gampang berkata: “kini kami hidup dengan anugerah keselamatan dari Kristus” tetapi dengan pengertian: mereka ingin melepaskan diri tanggungjawab etis dengan melalaikan makna hukum “tabur-tuai” secara etis! Memang di Ef. 2:8-9 rasul Paulus menyatakan bahwa kita diselamatkan karena kasih karunia Allah yang terjadi bukan karena hasil usaha dan pekerjaan kita. Namun buah keselamatan dari anugerah Allah tersebut kemudian dinyatakan oleh rasul Paulus pada ayat berikutnya, yaitu: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2:10). Jadi dalam Ef. 2:10, rasul Paulus menegaskan bahwa setelah kita menerima anugerah keselamatan dari Allah yang telah dikerjakan oleh Kristus, maka kini kita wajib untuk melakukan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya. Jadi setiap orang Kristen pada hakikatnya tetap terikat oleh hukum “tabur-tuai” yaitu apakah mereka menabur hal-hal yang benar dan mulia sebagai respon mereka terhadap anugerah keselamatan Allah; ataukah sebaliknya justru mereka menabur hal-hal yang buruk dan jahat karena mereka sama sekali tidak menghargai anugerah keselamatan Allah. Manakala mereka menyadari dirinya sebagai buatan atau ciptaan Allah yang baru, maka mereka akan merajut setiap serat kebenaran firman dan hikmat Allah agar terbentuk suatu pola hidup iman yang makin sehat dan menjadi berkat bagi sesamanya. Kepada mereka yang telah memiliki spiritualitas diri sebagai ciptaan baru yang diwujudkan dengan melakukan berbagai pekerjaan baik, maka pastilah mereka juga akan menuai hal-hal yang benar dan mulia. Tetapi kepada mereka yang hanya menjadikan kekristenan sekedar suatu predikat atau simbol belaka tanpa disertai tindakan dan perbuatan yang seharusnya, maka mereka juga akan menuai dari apa yang telah mereka tabur. Dengan demikian nama atau label “kekristenan” yang dinyatakan dalam sakramen baptis-sidi tidak secara otomatis menyelamatkan apabila tidak disertai oleh perbuatan sebagai manifestasi dari tanggungjwab imannya. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga” (Mat. 7:21).
Hukum “tabur-tuai” tetap berlaku bagi setiap umat Kristen. Bahkan hukum “tabur-tuai” menjadi lebih dituntut secara kualitatif etis kepada umat Kristen, karena mereka telah menerima anugerah keselamatan Allah melalui pengorbanan Kristus. Ibr. 10:26-27 berkata: “Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu. Tetapi yang ada ialah kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan semua orang durhaka”. Jadi tidaklah benar ajaran yang menyatakan bahwa setiap orang Kristen pasti diselamatkan! Pernyataan tersebut sangat berbahaya dan menyesatkan, sebab selain tidak bersikap realistis terhadap perilaku buruk/jahat dari oknum-oknum yang beragama Kristen; pernyataan tersebut juga tidak memberi motivasi yang sehat dan menyadarkan umat untuk sungguh-sungguh melaksanakan tanggungjwab etis dan imannya secara konkrit. Namun kepada setiap orang Kristen yang hidup secara berkualitas, dan memiliki spiritualitas serta integritas yang tinggi dan etis sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus, maka pastilah mereka akan memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Padahal di sinilah tuntutan Kristus yang paling berat. Sebab makna hukum “tabur-tuai” tidak lagi dihayati sebagai rangkaian perbuatan dan akibatnya secara lahiriah atau ritual keagamaan belaka . Orang Kristen tidak hanya dituntut untuk melakukan kehendak Allah sebagaimana yang diperintahkan dalam Sepuluh Firman, tetapi mereka juga dituntut sempurna secara batiniah dalam spiritualitas mereka. Dalam hal ini kita diajar oleh Tuhan Yesus agar tidak melakukan kekerasan fisik, tetapi juga kita dilarang oleh Tuhan Yesus untuk marah dan berkata-kata yang jahat sebab dianggap sama dengan tindakan membunuh. Tuhan Yesus berkata: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata keapdamu: setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:21-22). Perspektif yang baru dari Kristus tentang hukum “tabur-tuai” adalah terletak pada kecermatan Kristus terhadap sumber yang terdalam dari hati manusia, yang mana dalam sumber mental tersebut terletak seluruh akar dari berbagai perbuatan jahat. Itu sebabnya setiap orang Kristen dipanggil untuk selalu hidup cermat, jeli, kritis dan mengutamakan segi kedalaman serta kematangan spiritualitasnya agar hidup mereka dapat terus-menerus diterangi oleh Roh Kudus. Sebab apabila mereka hanya benar melakukan tuntutan firman Allah secara fisik, mereka masih harus diadili oleh Allah karena belum melakukan tuntutan firman Allah secara rohaniah sebagaimana yang telah diajarkan dan diteladani oleh Tuhan Yesus Kristus.
Posting Komentar